Hujan turun sejak sore, merintik perlahan-lahan seperti melodi yang menenangkan tapi juga menyimpan kepedihan. Di sebuah kamar kos sederhana, Raka duduk memandangi lilin kecil yang menyala di sudut meja belajarnya. Listrik padam, membuat malam terasa lebih sepi dari biasanya.
Raka baru saja dipecat dari pekerjaannya sebagai karyawan gudang. Katanya, perusahaan sedang merugi, tapi Raka tahu alasannya lebih dari itu: ia terlalu sering terlambat datang. Masalah di rumah, perjalanan yang jauh, semuanya seperti rantai yang menariknya ke dasar jurang.
Dia memandang lilin itu. "Kenapa hidup ini selalu gelap ?" gumamnya pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk.
"Mas Raka, saya boleh pinjam korek api ?" suara itu berasal dari Lia, tetangga kos yang jarang ia ajak bicara. Lia adalah mahasiswa tingkat akhir, selalu terlihat sibuk dengan tugas-tugasnya.
Raka membuka pintu dan memberikan korek api. Tapi bukannya pergi, Lia justru menatap lilin yang menyala di mejanya.
"Lilin kecil, ya ?" tanyanya.
"Ya, hanya ini yang ada," jawab Raka singkat.
Lia tersenyum. "Tahu nggak, Mas ? Lilin itu punya arti yang dalam."
Raka mengernyitkan dahi. "Maksudmu ?"
Lia masuk ke kamar tanpa menunggu undangan, duduk di kursi plastik dekat meja. "Lilin itu cuma benda kecil yang sering dianggap remeh. Tapi di tengah kegelapan, dia bisa jadi sumber harapan. Dia tidak mengeluh meskipun tubuhnya terus meleleh untuk menerangi sekitarnya."