Lihat ke Halaman Asli

Filsafat Konstruktivisme dalam PBM PAI Perspektif Kurikulum 2013

Diperbarui: 6 Agustus 2016   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada asumsi bahwa proses pembelajaran yang baik adalah berjalannya skenario pembelajaran yang didasarkan pada aktifitas belajar peserta didik yaitu membaca, menulis dan mendengarkan. Ketiga komponen pembelajaran ini telah menjadi sebuah sistem yang berjalan dan mengakar (establised) bertahun-tahun dan tak terbantahkan. Indikator keberhasilan proses pembelajaran yang dilakukan guru dan peserta didik  secara otomatis juga mengacu kepada ketiganya. Guru akan dikatakan berhasil dalam proses pembelajarannya apabila mampu menciptakan nuansa pembelajaran berdasarkan sistem itu.

Guru akan terlihat senang dan bangga apabila melihat anak dan peserta didiknya giat membaca buku-buku pelajaran ataupun buku penunjang lainnya. Aktifitas ini dijadikan indikator pandai karena rajin membaca. Pada hakikatnya postulat “membaca” ini tidak sepenuhnya benar. Membaca hanya merupakan aktifitas visual (pengamatan) yang harus dilalui seorang anak dan peserta didik sebagai prasyarat untuk memperoleh pengetahuan. Pada hal tujuan pembelajaran adalah untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

Aktifitas lain dalam sebuah proses pembelajaran adalah menulis. Guru akan terlihat gembira dan senang apabila melihat anak dan peserta didiknya mempunyai buku catatan yang lengkap dan rapi. Seolah-olah tulisan yang lengkap dan rapi menggambarkan suatu nuansa pada diri peserta didik yang rajin dan pintar. Tesa “catatan lengkap dan rapi” ini tidak mewakili kebenaran secara utuh tentang kualitas anak dan peserta didik. Menulis hanyalah satu skill psikomotor (keterampilan)  dari berbagai skill yang dimiliki peserta didik. Kurang bijakasana jika pengukuran kemampuan anak didik hanya disandarkan pada satu kamampuan saja.

Akhir dari sebuah proses pembelajaran adalah evaluasi. Kerapkali guru menyalahkan peserta didik karena mendapat nilai evaluasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Lantas guru membuat testimoni subjektif dan mengeluhkan tentang peserta didiknya yang kurang memperhatikan dan mendengarkan saat pembelajaran berlangsung sebagai biangnya. Aktifitas “mendengarkan” menjadi paradigma  absolut bagi guru dalam menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik. 

Peserta didik yang kurang memperhatikan dan mendengarkan penjelasan guru dianggap sebagai sebuah problem. Kebanyakan guru mengimpikan peserta didiknya senyap mendengarkan saat dirinya menjelaskan sesuatu. Pola kegiatan guru ini memberikan stigma bahwa peserta didik yang memperhatikan dan mendegarkan wejangan guru dengan serius akan berdampak positif bagi penerimaan informasi pengetahuan peserta didik dan meyakini bahwa proses pembelajarannya berhasil karena  peserta didik tertarik (interested) pada penjelalasannya.

Ketiga paradigma pembelajaran diatas perlu direformulasi untuk menciptakan sebuah proses pembelajaran yang berasaskan pada “belajar itu berfikir” dengan formula pembejalaran yang berbasis saintifik dengan filofosofi konstruktivistik yang lebih mengedepankan proses berfikir peserta didik dalam belajar. Proses “belajar itu berfikir” menitikberatkan pada eksistensi dan kemampuan peserta didik. Postulat Belajar itu Berfikir menghargai potensi dasar peserta didik (fitrah) sebagai makhluk yang berfikir dan menggunakan fikirannya untuk menjadi khalifah fil ardli.

Bias Makna Pembelajaran

Ada anggapan bahwa proses pembelajaran adalah menekankan dan berorientasi pada membaca buku sebagai sumber pengetahuan, menulis atau mencatat sebanyak-banyaknya informasi yang diperoleh peserta didik, dan proses pembelajaran adalah menyerap informasi pengetahuan dengan mendengarkan dengan teliti dan seksama. Apakah proses pembelajaran yang demikian dapat memancing dan menumbuh kembangkan daya bangun dan cipta pikir serta kreasi peserta didik?

Dalam pandangan saya, perlu adanya perubahan pola pikir dalam mendidik dan mengajar siswa yang lebih detail dan teknis dalam pelaksanaannya. Sehingga guru mempunyai pijakan yang jelas, alur pemikiran yang sistematis, adaptif, kreatif, dan inovatif. Paradigma filosofis konstruktivistis dalam pembelajaran yang mengedepankan kebebasan terstruktur  dalam perolehan ilmu pengetahuan dapat dijadikan alternatif sebagai landasan pembelajaran .

Sejarah Konstruktivistik

Gagasan pokok konstruktivisme dimunculkan pertama kali oleh Giambatissta Vico seorang epistimolog Italia. Dan untuk pertama kalinya konstruktivisme muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas dan diperdalam oleh Jean Peaget (Suparno , 1997). Peaget dapat dikatakan sebagai penerus dan penyebar gagasan-gagasan Vico. Sebagai psikolog, Peaget lebih jauh menginterpretasikan dan mengembangkannya menjadi sebuah teori belajar sebagai postulasi dari filsafat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline