Lihat ke Halaman Asli

Vaksin Palsu dan Pokemon: Trend Budaya Hedonis yang Intransenden

Diperbarui: 20 Juli 2016   21:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia adalah makhluk tuhan yang paling sempurna. Kesempurnaan itu akan menjadi paripurna apabila ia percaya dan meyakini bahwa dirinya tidak ada dengan sendirinya, ada yang mengawali, dan  yang menciptakan dirinya. Sebagai hasil dari kreasi tuhan, seharusnya manusia lebih menyadari bahwa keberadaannya tidak lebih hanyalah sebagai pelengkap ciptaan tuhan lainnya di muka bumi. Oleh karena itulah tuhan membekali manusia dengan daya pikir untuk menjadikan dirinya sebagai penghuni bumi yang menjaga keseimbangan  relasi bukan saja dengan makhluk lain tetapi juga dengan sang penciptanya. Daya pikir itulah yang seharusnya menjadi ‘katalisator’ manusia untuk menyadari keberadaan tuhannya. Sehingga manusia menjadi lebih manusiawi dan lebih kasih kepada sesamanya seperti yang tergambar pada sifat-sifat ketuhanan yang maha pengasih dan penyayang (rahman dan rahim).

Trend Masyarakat Hedonis

Peristiwa pemalsuan vaksin untuk anak-anak sama sekali tidak mencerminkan dan mewakili keinginan tuhan. Ada ruang kosong dan terpisah antara sisi manusia sebagai ciptaan tuhan dan tuhan sebagai penciptanya. Manusia menganggap dirinya berada pada wilayah yang profan, sedangkan tuhan adalah sakral. Intransendensi pola perilaku inilah yang menegasikan eksistensi makhluk lain dan menganggapnya sebagai kompetitor serta objek untuk kepentingan dirinya sendiri.

Kejadian vaksin palsu menegaskan bahwa anugrah daya pikir ternyata tidak mampu menjadi penerang dan pencerah bagi jalan kemanusiaan. Kecerdasan bukanlah jaminan untuk menjadikan manusia lebih manusiawi. Kepandaian dan kepintaran yang diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran hanya kamuflase sehingga ia menjelma menjadi homo homini lupus. Rentang waktu yang digunakan dalam belajar dalam sebuah institusi pendidikan gagal menjadikan dirinya sebagai homo homini socio.

Kecenderungan masyarakat hedonis adalah mencukupi kebutuhan biologisnya. Kenikmatan hidup diciptakan dan distandarisasi oleh dirinya sendiri. Kebenaran dan etika moral dianggap sebagai kumpulan konsep yang menghambat kesenangan dan tidak realisitis. Prinsip hidup hedonistik memaksa kehadiran transendensi vertikal berketuhanan masyarakat tereliminasi dan menggantinya dengan intransendensi horisontal yang kompulsif.

Sementara itu ditengah hiruk pikuknya vaksin palsu muncul trend baru yaitu permainan Pokemon Go yang menyediakan fitur-fitur kepalsuan dunia fantasi yang fantastik. Menggiring manusia pada sebuah situasi dan kondisi yang absurd dan penuh kepura-puraaan. Kehadiran permainan Pokemon Go telah menjadi bagian dari gaya hidup yang tak terelakkan bagi sebagian masyarakat. Permainan Pokemon Go menjanjian ‘kebahagiaan semu’ bagi para pelakunya dan menciptakan ‘perbudakan’ gaya baru dengan iming-iming prestasi dan pristise dunia maya.

Permainan Pokemon Go mengisyaratkan dan mengindikasikan sebuah budaya masyarakat hedonis yang menggandrungi nilai-nilai teknologi instan secara adiktif dan individualis. Kehidupan nyata masyarakat dicopy paste dan dikloning kedalam sebuah dunia ‘permainan imajinatif’. Sehingga secara sadar ataupun tidak sadar telah menyetujui nilai-nilai budaya imajiner sebagai bagian dari pandangan hidupnya.

Teknologi bukan hanya menjanjikan kemudahan dalam menikmati hidup, akan tetapi ia juga telah mendeklarasikan diri sebagai sebuah sistem budaya yang futuristik. Kehidupan nyata keseharian masyarakat bagaikan animasi periodik yang pada waktu tertentu dapat berubah sebab dikendalikan oleh sistem teknologi tingkat tinggi. Celakanya, masyarakat sudah mengamini bukan hanya sebagai subjek pelaku dan pemakai teknologi akan tetapi juga sudah siap sebagai objek dengan berbagai alasan yang apologis.

Vaksin 3 H

Produk kehandalan daya pikir yang menjadi tumpuan utama masyarakat hedonis, vaksin palsu dan Pokemon Go ternyata telah menggiring masyarakat pada perilaku ‘kurang manusiawi’. Moralitas dan etik (kepantasan) masyarakat tenggelam dalam lautan kehidupan yang penuh kepalsuan. Standar kebermaknaan hidup hanya sebatas kenikmatan permainan dan kepura-puraan (laibun wa lagwun). Perilaku hedonistik telah menjerumuskan generasi masa depan ke lubang keragu-raguan. Menciptakan rasa kekhawatiran dan ketakutan sosial yang masif. Oleh karena itulah perlu adanya vaksin baru dalam menjalani hidup melalui sebuah proses pendidikan agar generasi yang akan datang lebih kebal dan mampu menciptakan sebuah budaya yang seimbang antara kepentingan dunia nyata dan maya yaitu :

  • Head (kepala). Ketika seseorang ditunjukkan kepada bagian kepala (Head)konotasinya adalah agar ia menggunakan kognisinya untuk berfikir sebelum bertindak. Kepala (Head) mencerminkan keunggulan dan keampuhan daya pikir dalam melakukan sesuatu. Selain dari pada itu kepala melambangkan kapabilitas personal yang paradigma epistimologisnya lebih dekat dengan kumpulan-kumpulan konseptual yang dimiliki manusia. Dalam sebuah proses pendidikan konsepheadini identik dengan kompetensi kognitif yang dikuasai oleh seseorang.
  • Hand (tangan). Tangan adalah bagian dari anatomi tubuh manusia yang sering kali diidentikkan dengan keterampilan seseorang. Dalam perspektif proses pendidikan tangan lebih mudah dilambangkan sebagai kompetensi terampil seseorang. Konsep terampil ini biasanya menjadikan seseorang lebih praktis dan realistis dalam menjalani hidupnya. Sehingga kecenderungannya pada hal-hal yang pragmatis paradigmatif menjadi tujuan akhirnya (goal) adalahpersonal skill.
  • Heart (hati). Perlu adanya sebuah penguatan konseptual tentang urgensi potensi dan posisi hati dalam menjalani hidup dalam sebuah struktur sosial yang bertingkat dan heterogen. Bahwa kebutuhan hidup seseorang bukan hanya sebatas interaksi ragawi dengan makhluk sosial lainnya, tidak terbatas pada fenomena terminologis yang behavioristik belaka, melainkan ada kebutuhan-kebutuhan yang bersifat rohani, metapisik, dan bagian terdalam dari sebuah fenomena sosial. Penguatan-penguatan dan postulasi hati (heart) ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kedalaman afeksi yang dimiliki seseorang. Sehingga rasa simpati dan empati menjadi suatu kebutuhan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Vaksin 3 H yang diteteskan kepada generasi yang akan bukanlah obat tunggal yang dapat menggaransi keberhasilan terciptanya sebuah nilai-nilai dan budaya yang selaras dengan keinginan tuhan. Akan tetapi minimalnya dapat mewarnai pandangan hidup (world view), gaya hidup (life style), dan keyakinan (faith) seseorang dalam memproklamirkan sisi-sisi kemanusiaan yang diakuinya sebagai konsensus sosial yang ‘manusiawi’ bahwa sekecil apapun perbuatan kita yang membahayakan diri dan orang lain baik secara fisik dan psikis dapat diyakini sebagai sebuah perbuatan yang kurang manusiawi dan melanggar sunnatullah. Walluhu A’lam Bishowab.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline