Serial Upin dan Ipin adalah salah satu serial yang disukai oleh anak-anak hingga orang dewasa di Indonesia. Serial ini hampir setiap hari tayang di televisi nasional. Bahkan dalam sehari, jadwal penayangannya sampai tiga kali. Walaupun tayangan tiap episodenya diulang-ulang, namun masih banyak anak-anak hingga orang dewasa yang tak bosan untuk menikmatinya.
Termasuk saya, walaupun kini saya sudah duduk di bangku kuliah, saya tak bosan untuk menikmati tiap tayangannya. Alasannya cukup sederhana, tingkah Upin, Ipin, dan kawan-kawannya sangat menggemaskan. Nakal yang mereka sajikan adalah nakal anak kecil pada umumnya, walaupun sebenarnya masih dalam kadar yang sangat manut untuk ukuran anak TK. Selain itu, mereka juga suka membantu orang lain terlebih jika orang tersebut adalah orang yang paling tua dari mereka.
Bukan hanya itu saja yang serial ini sajikan. Ada satu nilai yang patut kita tiru dari serial itu yaitu soal toleransi. Upin, Ipin, dan kawan-kawannya tidak pernah mempermasalahkan ras, bangsa, dan agama yang melekat pada masing-masing di tubuh mereka. Mereka hanya menikmati permainan yang mereka lakukan.
Ketika bermain bersama, mereka tidak pernah membahas identitas masing-masing. Jika mereka membahasnya, saya yakin hanya akan timbul persoalan yang tidak patut kita tiru. Jika mereka membahasnya, serial ini tidak dapat kita jadikan pelajaran untuk kita.
Damainya serial Upin dan Ipin mengingatkan saya pada keadaan Indonesia akhir-akhir ini. Saat ini, toleransi yang Upin dan Ipin tampilkan belum dapat dicontoh di Indonesia sepenuhnya.
Di negeri ini bahkan toleransi seperti mimpi di siang bolong. Lihat saja pembongkaran gereja yang terjadi di Aceh Singkil. Alasan adanya pembongkaran karena gereja tersebut tak mengantongi surat izin. Karenanya, para jemaat di sana terpaksa melaksanakan kebaktian di bawah tenda yang masih dapat dijatuhi percikan air hujan.
Sama halnya dengan para jemaat Katholik di Bekasi yang dipersulit untuk membangun gereja. Padahal, persyaratan telah dipenuhi untuk membangun gereja. Namun, tetap saja gelombang penolakan pembangunan gereja terus berdatangan. Butuh puluhan tahun yang akhirnya gereja tersebut dapat dibangun.
Menurut artikel yang dirilis jaring.id, sepanjang 2018, Provinsi Jawa Barat merupakan daerah kejadian pelanggaran kebebasan berkeyakinan (KBB) paling banyak ketimbang 24 provinsi lainnya. Dari 160 pelanggaran yang disertai 202 tindakan, ada sekitar 24 peristiwa yang terjadi di Jabar.
Bukan hanya itu saja, dalam kehidupan sehari-hari pun kita kerap melanggengkan stigma ras. Misalnya saja, orang keturunan Tionghoa yang biasanya terkenal dengan sifat pelitnya. Orang Batak pun tak ketinggalan memiliki stigma galak terhadap orang lain. Padahal, stigma-stigma tersebut belum tentu melekat pada diri masing-masing ras.
Jika intoleransi terus tumbuh di Indonesia, ini akan terus menjadi momok di negeri ini. Nilai-nilai dasar negara kita, Pancasila hanya akan menjadi 'pajangan' untuk bangsa ini. Pancasila hanya menjadi 'pemanis' untuk membentuk adanya suatu negara. Tak hanya Pancasila, UUD 1945 pun hanya untuk dipelajari para siswa dan mahasiswa secara tekstual agar dapat memiliki nilai sekolah yang tinggi daripada dipelajari untuk kemudian diterapkan sehari-hari.
Jika memang sudah demikian, dapat saya katakan bahwa Upin, Ipin, dan kawan-kawannya lebih dewasa ketimbang kita. Serial Upin dan Ipin tidak pernah mempermasalahkan identitas masing-masing, mereka justru membantu satu sama lain untuk merayakan hari raya mereka.