Saya hampir saja lupa kalau hari ini tanggal 2 Mei yang dinobatkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Kalau saja saya tidak melihat beberapa status teman di whatsapp yang banyak memasang flyer hardiknas, tentu saya akan menulis tema lain. Satu hal yang menggelitik dari flyer tersebut adalah tema dari Hardiknas tahun ini. "Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar".
Saya jadi ingat selorohan kita semua saat covid 19 mulai mewabah tahun lalu dan memaksa anak didik untuk belajar dari rumah. Kita sempat mengiyakan kalau apa yang divisikan Mas Mentri Nadiem Makarim terkait merdeka belajar, benar-benar terwujud.
Merdeka belajar yang diprogramkan sejatinya bertujuan agar pendidikan di Indonesia tidak dikungkung oleh kebijakan yang terkesan kaku. Hal ini terkait dengan pelaksanaan ujian sekolah maupun nasional bagi peserta didik, penyederhanaan rencana pelaksanaan pembelajaran guru dan sistem zonasi.
Harapannya, baik peserta didik maupun para pendidik akan menjadi pribadi yang kritis, kreatif dan inovatif. Mengingat perkembangan teknologi yang begitu pesat, sehingga diharapkan mereka mampu memanfaatkannya dengan maksimal.
Namun, pandemi mengubah segalanya. Merdeka belajar yang tadinya dicanangkan sangat ideal, akhirnya justru tidak sesuai yang diharapkan. Memang pemanfaatan teknologi benar-benar terlaksana, meski karena dipaksa dengan pembelajaran jarak jauh agar covid 19 tidak merajalela.
Akan tetapi pada prakteknya merdeka belajar justru memunculkan penafsiran baru. Ya, bukan merdeka belajar tapi belajar yang merdeka. Santai, tidak terikat jam, tidak takut terlambat, tidak harus berseragam bahkan tidak perlu mandi dulu. Hehehe
Banyak sekali permasalahan baru kita temukan di lapangan yang hingga saat ini belum ditemukan solusi jitu. Pembelajaran dalam jaringan (daring) yang menuntut semua orang menggunakan fasilitas internet dengan media berupa telepon genggam (handphone) maupun laptop atau komputer justru jadi bumerang bagi siswa, guru dan tentunya orang tua.
Handphone yang sempat menjadi 'barang haram' bagi siswa dalam usia tertentu kini menjelma menjadi 'barang wajib'. Alasannya jelas, sebagai alat pembelajaran. Belum lagi para keluarga yang putra-putrinya adalah santri yang pantang menyentuh gawai di pesantren.
Kini mereka harus menggunakannya. Tidak mengherankan jika lambat laun fungsinya juga berubah. Tidak saja untuk pembelajaran, tetapi beralih menjadi candu yang membius anak-anak kita. Bermain game, mencoba-coba berbagai aplikasi dan alih-alih ikut coba-coba belanja online. Muncullah hedonis-hedonis junior yang buntutnya membuat jebol kantong para orang tua.