Lihat ke Halaman Asli

Azizah Ferina Utami

Mahasiswi Universitas Sriwijaya Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Angkatan 2019

Kritik Terhadap Konsep Detterence Sebagai Strategi di Era Kontestasi Nuklir

Diperbarui: 2 Desember 2021   20:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Seiring berkembangnya zaman, hadirnya kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tentunya telah memberikan pengaruh terkait strategi serta alat seperti senjata nuklir yang digunakan untuk melakukan serangan. Oleh sebab itu, adanya senjata nuklir telah memberikan implikasi besar dalam menciptakan strategi untuk berperang. Implementasi dari strategi yang melibatkan nuklir disebut juga Strategi Nuklir. 

Perang Dunia II merupakan pertama kali munculnya strategi nuklir. Sedangkan strategi didefinisikan sebagai bagian dari usaha guna meraih tujuan dengan cara berperang. Clausewitz beranggapan bahwa perang ialah sebuah alat agar dapat mencapai sebuah kepentingan (Clausewitz, 2010). Selanjutnya, Michael Porter memiliki anggapan bahwa strategi memiliki elemen yang penting yaitu memilih untuk melakukan hal yang berlainan dengan musuh.

Tidak sampai di situ, Greene juga memberikan pernyataan mengenai hal yang penting dalam strategi ialah memperoleh banyak tindakan maupun pilihan, jika dibandingan dengan musuh. Hal tersebut termuat di dalam buku populernya , The 33 Strategies of War yang tentunya mencantumkan sejumlah pernyataan yang menarik (Greene, 2007). Setelah melihat beberapa pandangan terkait strategi, maka terlihat berbagai perbedaan pandangan atau perubahan dalam menafsirkan strategi. Jika melihat ke era Perang Dunia II, strategi ditafsirkan pada sebuah usaha guna meraih kepentingan dengan cara berperang. Sedangkan di pasca Perang Dunia, strategi ditafsirkan sebagai alat yang digunakan sebagai usaha untuk memperoleh profit ataupun kepentingan dari sebuah negara.

Selanjutnya, pada era kontestasi nuklir termuat sejumlah konsep yang berubah dalam mendasari strategi itu sendiri. Melansir prinsip utama Clausewitz yang menganggap bahwa perang serta strategi yang memiliki keterikatan, dengan kata lain tujuan dapat dicapai jika melakukan perang. Tatkala, kontestasi senjata nuklir dalam rentang tahun 1949-1989 yang melibatkan Amerika Serikat dengan Uni Soviet yang sebenarnya tidak benar-benar terlibat dalam peperangan nuklir. Maka dari itu, kekuatan nuklir tersebut memberikan kesulitan untuk melakukan analisis terhadap konsep strategi yang menyatakan bahwa peperangan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan dari negara itu sendiri.  

Di sisi lain, terdapat konsep dari Michael Porter yang mendefinisikan strategi dengan menciptakan sikap serta aksi yang berbeda dengan musuh. Hal ini disebabkan Porter melandaskan pemikirannya pada anggapan bahwa musuh akan memperoleh kesamaan dalam hasil dan justru kita tidak dapat memenangkannya (Porter, 1980). Jika diimplementasikan doktrin-doktrin tersebut ke dalam rancangan kontestasi dari pemilik-pemilik nuklir, tentunya konsep tersebut memiliki sejumlah perbedaan. Namun, konsep tersebut masih sangatlah relevan, hal ini disebabkan karena pada realitanya di tahun 1940 Amerika Serikat melakukan pengembangan nuklir. Kemudian, di tahun 1949 Uni Soviet menciptakan nuklir yang berkekuatan lebih.

Dalam upaya menjadi unggul dalam kontestasi tersebut, Amerika Serikat meluncurkan bom hidrogen yang mampu mengalahkan kekuatan dari bom atom yang telah menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Tidak hanya itu, Amerika Serikat juga membentuk North Atlantic Treaty Organization (NATO), menciptakan kondisi demokratis di Jerman Barat serta menugaskan pasukan di Jepang guna memperkuat posisinya.

Akan tetapi, di sisi lain realita memperlihatkan diantara konsep-konsep strategi diatas yang telah dianggap memiliki keterkaitan dengan nuklir ialah Detterence. Konsep ini populer karena tidak terdapat pihak yang menangkal sebuah serangan dari nuklir, maka dari itu tidak terdapat pula pihak yang akan mencoba melakukan penyerangan menggunakan nuklir. Dalam membangun situasi dan kondisi tersebut, tentunya kedua belah pihak harus berkekuatan imbang, tiap-tiap negara setidaknya memiliki senjata nuklir. Di dalam keadaan ini, 

Porter melihat bahwa  terjadinya kontestasi persenjataan nuklir, dimana tiap-tiap negara saling berusaha untuk melakukan perimbangan kekuatan bahkan melebihi kekuatan negara lain. Guna memperlihatkan representasi konsep strategi nuklir ini, maka diharuskan untuk mengulas pemikiran dari sejumlah pemikir terkait strategi nuklir itu sendiri. Jon Lodal berpendapat bahwa awal dari kemunculan konsep deterrence disebabkan oleh senjata nuklir yang berkekuatan tinggi serta menyebabkan kehancuran yang tidak dapat dihindari. Meskipun konsep deterrence telah muncul dari sebelum hadirnya persenjataan nuklir, akan tetapi eksistensi dari senjata nuklir ini menjadi fondasi padangan Amerika Serikat serta Uni Soviet guna mengimplementasikan konsep dari deterrence itu sendiri. Hal ini dilandaskan pada potensi nuklir yang dapat meluluhlantahkan perabadan negara yang melakukan serangan utama yang pada akhirnya negara yang diserang akan melakukan serangan balik (Lodal, 1980).

Selanjutnya, yang hendak diulas dari konsep deterrence mengenai situasi serta kondisi dari negara maupun pihak yang melibatkan diri dalam sebuah konflk, dimana keduanya berkontestasi guna memperkuat kemampuan senjata nuklir. Akan tetapi, senjata nuklir tersebut justru tidak digunakan, apakah hal ini termasuk ke dalam sebuah strategi?

Terdapat sebuah kritik mengenai strategi deterrence senjata nuklir yang dinilai layaknya seperti permainan catur. Dmana musuh memiliki pion yang sangat kuat dan tidak terikat dalam peraturan bermain catur secara mendadak. Pion ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh bahkan keuntungan dalam permainan tersebut karena berada di luar aturan permainan. Alhasil, masing-masing negara maupun pihak yang telah berupaya memunculkan pion yang berkekuatan semata-mata disebabkan oleh kepemilikan musuh. Kemudian,

Morgenthau turut memberikan pandangan hingga sebuah kritik yang menjadi penting guna menganalisis strategi dari deterrence tersebut. Bagaimana suatu strategi yang dapat menjangkau kepentingan dapat disebut bagian dari strategi? (Morgenthau, 1964). Kemudian apa kegunaan dari senjata nuklir? Apabila kita melihat pada sejumlah kasus justru sebenarnya Amerika Serikat dan Uni Soviet sendiri tidak menggunakan senjata nuklir itu sendiri. Apabila memang senjata nuklir tersebut tidak bisa digunakan, lalu dimana posisi kekuatan dari strategi tersebut?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline