Lihat ke Halaman Asli

Azizah Aulia Nabila

Mahasiswa Psikologi Universitas Negeri Surabaya

Mengapa Kesetaraan Gender Dapat Menimbulkan Standar Ganda di Masyarakat?

Diperbarui: 17 Desember 2024   00:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Simbol Wanita & Pria (Sumber: Pexels.com)

 

Keadilan dan kesetaraan, merupakan nilai-nilai yang semestinya menjadi pilar dalam masyarakat, ternyata kerap diabaikan. Adanya diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang menimpa individu atau golongan yang harusnya setara, membuktikan betapa sulitnya perjuangan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan setara. Standar ganda menunjukkan bentuk nyata dari ketidakadilan dan ketidaksetaraan tersebut. Adanya standar ganda dari individu sangat berperan dalam menghambat tercapainya keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.

Double standard atau standar ganda ini ialah kondisi ketika kita membuat penilaian, reaksi, sikap, atau perilaku yang berlainan pada suatu kelompok dalam perkara yang sama. Kejadian ini marak dijumpai di hampir semua lini kehidupan, mulai dari sistem peradilan, ekonomi, pendidikan, media, maupun hubungan dalam keluarga.

Adapun faktor penyebab terjadinya standar ganda, terlepas dari pengaruh tradisi, kultur, dan stereotip, yaitu pola asuh keluarga dari usia dini yang kemudian mendorong beberapa individu untuk menerapkan standar ganda, baik disadari maupun tidak. Perasaan ingin selalu menang sendiri, selalu benar sendiri juga merupakan sebab utama munculnya standar ganda.

Tidak ada habisnya jika membahas standar ganda terkait gender. Terdapat begitu banyak pandangan berbeda yang disematkan oleh masyarakat terhadap laki-laki atau perempuan dalam kasus yang sama.

Kasus yang paling sederhana dan umum terjadi adalah saat laki-laki dan perempuan sama-sama menangis, laki-laki memperoleh cap buruk, dinilai cengeng, rapuh, dan lemah. Sebaliknya bagi perempuan menangis justru dianggap suatu hal yang sangat lumrah.

Mencuci piring, mencuci baju, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga merupakan hal yang biasa dan bahkan terkesan sepele jika dilakukan oleh wanita, “Sudah menjadi kewajiban”. Akan tetapi, apabila pria yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, hampir semua orang akan memuji mereka dengan perkataan, “Keren” “Suami idaman” sampai “Kesayangan mertua”.

Distribusi tugas rumah tangga yang tidak setara adalah hasil dari norma-norma gender yang kaku. Terlepas dari perkembangan sosial, pembagian tanggung jawab rumah tangga yang tidak setara menimbulkan beban ganda bagi perempuan, ditambah lagi dengan ketimpangan akses terhadap akses pelayanan kesehatan dan hak-hak reproduktif yang meruntuhkan fondasi kesehatan perempuan, yang berujung pada munculnya ketidaksetaraan dalam pemenuhan hak-hak pribadi dan dalam pengambilan keputusan atas kondisi tubuh mereka.

Di dunia kerja, imbas dari ketidaksetaraan gender bisa terlihat dari adanya selisih gaji sampai dengan peluang kerja antara laki-laki dan perempuan yang memiliki keterampilan dan keahlian yang sama. Ada pembatasan tak kasat mata yang secara tidak nyata berlaku bagi perempuan untuk menjangkau jabatan tinggi yang disebut dengan istilah Glass Ceiling, membuat perempuan mengalami kesulitan untuk menduduki jabatan tinggi dan pastinya akan menghalangi perempuan untuk mewujudkan cita-citanya.

Dari waktu ke waktu, wanita semakin terbatas perannya sebagai seorang pendamping suami dan pengasuh anak, bahkan banyak wanita yang harus merelakan impiannya karena ketidaksetaraan gender ini. Nyatanya, perempuan seringkali terpaksa melepaskan pendidikannya, mendapatkan gaji yang rendah dan posisi pekerjaan yang rendah, hingga harus banting tulang sambil merawat anak hanya demi isu ketidaksetaraan gender ini.

Dengan banyaknya double standard dan persepsi maupun cara pandang yang berlainan antara perempuan dan laki-laki pastinya memiliki dampak buruk bagi seluruh masyarakat, seperti ketidaksetaraan gender. Hal ini bisa berujung pada berkurangnya tingkat kepercayaan diri, rasa lelah, dan stres akibat harus menyesuaikan diri dengan standar yang dianggap tidak adil. Lebih parahnya lagi, semakin tidak terpenuhinya standar tersebut, maka sikap semena-mena, ketidakadilan, dan anggapan rendah dapat saja menimpa siapa saja tanpa melihat gender, termasuk perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline