Lihat ke Halaman Asli

Azizah

Aktivis

Kenapa Harus Beragama?

Diperbarui: 10 Juli 2019   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagi sebagian orang agama hanyalah formalitas hidup. Ada juga yang menganggap agama tak lebih dari sekedar dogma yang diwariskan leluhur dengan mengajarkan ini dan itu, serta menuntut ini dan itu. Hingga muncul istilah ateis -- sebuah sebutan bagi mereka yang secara gamblang mengatakan agama bukanlah sebuah kebutuhan yang sah-sah saja bila ditinggalkan. Seseorang memiliki historis yang berbeda-beda dalam mengingkari agama atau dengan kata lain mengakui tidak ada Tuhan yang patut disembah. Mereka yang demikian mengklaim telah menemukan berbagai bukti yang mendasari pemikiran mereka. Entah dari absennya wujud Tuhan secara kasat mata, atau berbagai temuan-temuan lain yang mereka jadikan alasan untuk meniadakan Tuhan.

Saat ini manusia dikatakan serba bisa -- menciptakan robot, menanam tanaman hidroponik, menciptakan kendaraan super cepat, mengembangkan teknologi internet sebagai portal informasi yang bisa diakses seluruh penduduk bumi, mendatangi planet lain, hingga memecahkan kasus-kasus sains yang belum pernah terjawab di masa-masa sebelumnya. Namun terlepas dari kehebatan manusia dalam menciptakan ini dan itu, orientasi manusia akan cenderung pada egonya dalam memenuhi kebutuhan materil maupun immateril. Dengan segala ciptaan tangan manusia yang telah dipaparkan di atas, mungkin saja kebutuhan materil dapat terpenuhi dengan mudah. 

Namun siapa yang berani mengatakan bahwa mendapatkan utilitas immateril sama mudahnya dengan mendapatkan utilitas atas pemenuhan kebutuhan materil? Jepang yang terkenal dengan pengembangan teknologinya yang cukup pesat dan etos kerja penduduknya yang luar biasa, justru di saat yang sama dinobatkan sebagai negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Hal ini sejalan dengan data Kementrian Kesehatan Jepang di Tahun 2017. Dengan fakta tersebut masihkah kita beranggapan bahwa utilitas materil selalu diiringi dengan terpenuhinya utilitas immateril?

Kassandra Purwanto, seorang psikolog di London School of Pulic Relations mengatakan bahwa pemicu munculnya niat bunuh diri terkait dengan kondisi mental psikologis yang mengalami gangguan mental jenis depresi. Berdasarkan kajian yang dilakukan Into The Light Indonesia, diperoleh sebuah kesimpulan bahwa afiliasi agama dapat melindungi seseorang dari tindakan percobaan bunuh diri. Mereka yang memiliki persepsi positif terhadap agama terbukti memiliki pemikiran bunuh diri yang lebih rendah. Sehingga wajar saja jika bunuh diri sering dikaitkan dengan istilah "kurang iman" karena hal tersebut berimplikasi terhadap sebuah pemikiran seseorang yang beranggapan bahwa tidak ada lagi harapan apalagi solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. 

Hal tersebut akan berlawanan dengan prinsip orang yang taat beragama, dimana mereka akan menemukan sebuah harapan karena mereka memiliki tempat mengadu dan mempercayai adanya dzat yang maha kuasa atas segala sesuatu -- tidak akan ada masalah yang berarti di tangan-Nya, semuanya pasti terselesaikan. Keteguhan tersebut yang memupuk motivasi seseorang untuk tetap hidup dan menemukan arti sebuah kehidupan. Sehingga amat disayangkan bila di era modern yang serba canggih ini, agama hanya dianggap sebagai sebuah warisan kuno yang tak berarti apa-apa bagi kehidupan manusia justru agama adalah navigator kehidupan yang menuntun manusia untuk berbuat baik dan saling membagi kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline