Lihat ke Halaman Asli

PENAFSIR LUKIS(Cerpen)

Diperbarui: 14 Agustus 2015   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langkah kakiku terhenti ketika melihat sosok yang aku mungkin kenal. Dengan agak ragu aku hendak menghampirinya, ini adalah tempat yang tepat untuk bersantai, meluangkan pikiran dan berbagai macam hal meyenangkan lainnya. Mungkin suatu keanehan juga aku berada disini, namun untuknya tentu tidak. Jika orang yang aku kenal tahu aku berada disini mungkin mereka akan mulai mencandaiku. Tapi ini tempat umum yang bisa didatangi siapapun, bagaimanapun juga semua berhak ke tempat ini. Sejuk, nyaman namun ramai bila sore hari apalagi di hari libur. Ketenangan yang biasa dicari oleh orang yang sedang terganggu, kedamaian dalam cinta yang dicari seorang yang sedang dirasanya jatuh cinta, kebahagiaan yang dicari bila sekelompok orang sedang mengukir kenangan bersama. Aku membentuk sebuah pola yang aku rasa ini penting, memang betul jika aku dianggap sebagai orang yang aneh. Namun inilah aku, dengan kesungguhanku, kekuatanku dan kepastianku. Aku tak pernah melihatnya semenjak 2 minggu lalu setelah kejadian mengecewakan yang menimpa dirinya. Kini aku melihatnya dengan kepakan sayap merpati yang seakan tak pernah bertemu setelah pergantian musim. Ingin kuhampiri dan bertanya apa yang terjadi, namun ku rasa ia butuh waktu untuk bermesraan dengan angin sang pasangan merpati. Ya sudah, kulanjutkan tulisanku sambil memandanginya, kulihat kebahagiaanya mulai muncul kembali. Agak aneh menurutku jika ia tersenyum sendiri di tepi danau. Aku takut orang menganggapnya aneh atau kau tahulah apa maksudku. Mungkin angin sepakat denganku untuk membawaku pulang karena cahaya surya telah berwarna indah dengan kemilau orange-merahnya, namun ia masih menahanku untuk tetap memandanginya dan berharap bisa menemaninya lebih lama. Tapi mungkin lain waktu, aku sedang tak enak hati jika tak kuturuti kemauan guruku untuk menyelesaikan tugas untuk di jawab esok hari.

Haduhh, aku kira ini hari yang menyenangkan tapi pagi begini saja aku sudah tak enak. Kemarin itu sungguh menyenangkan bisa bertemu dengannya, walaupun ia tak tahu bahwa aku melihatnya. “ hayo kamu nulis apa?” sapa temanku dalam tulisan kecil yang aku rangkai di bangku kantin ditemani dengan semangkuk mie ayam. ”eh Tia, bikin kaget aja. Nggak bukan apa-apa cuma curhatan kecil ”. candaku sedikit dengan tawa yang ringan. “ ah kamu selalu begitu, aku tak pernah tau kamu itu sebenarnya seperti apa. Aku hanya satu-satunya teman sastramu di sekolah ini. Tapi yang aku tahu juga bahwa kamu pandai dalam dunia anak muda sekarang, dan tak pernah terlihat” canda temanku seperti melihat aku yang sesungguhnya. “haha omonganmu itu udah kaya orang yang tahu segalanya, udah nggak usah berlaga biasa aja lah” alihku dalam pusat perhatiannya.

Memang seperti seorang peramal temanku Tia, aku di sore hari memang bukan seorang sastrawan melainkan anak remaja pada umumnya. Tak satupun teman sekolahku tahu seperti apa aku ini jika diluar, bukan berarti aku liar. Musik adalah kesenanganku, berkarya adalah hobiku. Keduanya sangat meyenangkan jadi aku akan berusaha melakukan keduanya. Tempat ini tak seperti biasa, memang ramai terpandang namun sepi bila ada yang kurang pas dengan kami. Dulu kami ber-4 namun sekarang tinggal berdua. Miris memang kejadian yang kami alami, keegoisan tak luput dari seorang makhluk Tuhan-Nya. Kejadian itu terjadi 2 minggu yang lalu beriring dengan penyakit bagi Band kami. Caffe ini selalu ramai, sorakan dan tepuk tangan selalu kami dapat, bahkan hingga saat ini. Bukan karena musik yang meriah dan suara yang begitu khas dan anggun, melainkan kekompakan dan keseruan yang selalu kami bawakan. Seperti persaudaraan yang melekat, itulah kami yang dulu.

Tak perlu diherankan jika kakak-beradik selalu berkelahi, tetapi jika kakak-beradik itu terlahir sebagai sepasang saudara tiri mungkin perkelahian itu juga akan terjadi. Fadhli adalah vocal sepertiku dengan melodi gitarnya, Dimas seorang drummer yang penuh dengan semangat, dan Rakha seorang pianis yang handal. Keseruan bersama sering kami lalui, kemanapun kami bermelodi pasti menuai perhatian. Aku hanya satu-satunya yang bersekolah dengan seragam abu-abu, sisanya sudah ber-universitas. Tak kenal usia bukan jika kita berteman, lagipula mereka tak jauh usia denganku. Keluarga adalah hal utama, kelengkapan itu mulai terisi antara Fadhli dan Rakha jauh sebelum aku mengenalnya. Dulu mereka tak berkeluarga, sekarang mereka telah berkakak-adik. Fadhli mendapat pelengkap seorang ibu dengan anaknya Rakha, begitu juga sebaliknya. Namun mereka tak pernah berseteru ataupun bermasalah antara satu dengan lainnya. Damai, begitulah mereka sampai bertemu dengan ku dan akhirnya mereka berpisah 2 minggu yang lalu. Tak pernah kulupa kejadian itu, mungkin mereka pun begitu. Malu aku rasanya jika aku menjadi salah satu diantara mereka, namun siapalah aku harus masuk kedalam urusan keluarganya.

“huh, kita masih beruntung dengan para penggemar musik yang membuat kita semangat, tapi sepi banget ngak ada mereka. Kapan kita bisa ngumpul bareng lagi” keluh Dimas dengan penuh harap yang sama denganku. Sesuatu yang sulit bagi siapapun yang mengalami hal seperti kami, pertengkaran bukan sesuatu yang asing dan bisa terjadi kapanpun bahkan dalam suasana yang tidak pernah kita inginkan. “ya, mungkin ada saatnya walaupun mungkin lama.” Jawabku sedih karena hanya sebuah harapan. “oh iya, gue ketemu Rakha tadi di Kampus, trus gue nanya soal Fadhli dan katanya …” Dimas seolah ingin memberi kabar buruk yang terhenti. “Rakha, gmna kbrnya? trus kenapa?” tegasku dengan penuh kecemasan.”ehmm, Rakha baik, trus dia bilang Fadhli pergi abis kejadian itu, dan sampai sekarang keluarganya ngak tau kabarnya” jawab Dimas dengan nada yang sedih. Tak pernah nampak? Tak satupun yang tahu? Kemana dia? Baru kemarin aku melihatnya, entah penglihatanku benar atau tidak. Tapi mereka tak tahu dimana dia sekarang, rasa hatiku cemas ingin kuulangi waktu itu untuk benar-benar aku menyapanya. Kakiku mati rasa, ingin aku berlari segera menuju Taman yang biasa kukunjungi, tempat aku bertemu dengannya. Tapi apa daya, itu sesuatu yang tidak mungkin jika aku mengulang waktu. Perasaanku hambar, binggung dan gelisah aku memikirkan kesalahanku untuk tidak menyapanya kemarin.

”loe ngak apa-apa?” Tanya Dimas sambil menjentikkan jarinya dimukaku. ”oh, iya aku baik. Udah malem, aku pulang dulu.” Jawabku dengan harapan akan meyakinkan Dimas bahwa aku baik-baik saja. Sepanjang jalan pulang aku terus memikirkannya, penyesalan ini sungguh sangat mengganggu. Pengandaianku ini ingin aku lakukan dan berharap akan terjadi, dengan mengundur waktu menuju taman kemarin. Angin itu harusnya tak sepakat denganku, guru itu juga tak seharusnya menakuti naluriku, jika akhirnya aku harus menyesal dan berharap aku akan bertemu dengannya lagi. Berharap itu sesuatu yang mungkin bisa saja semua orang lakukan, namun seperti penantian yang panjang jika harapan itu terlalu lama.

Sore ini sungguh mendebarkan, rasanya aku seperti berada di medan perang. Kakiku telah ku ajak berlari menuju tepi Danau, sebuah Bahtera keindahan bagiku, tempat aku melukiskan semua asa ku dengan kunang-kunang harapan. Tak kuat lagi kakiku berlari, aku berjalan dengan perlahan dan kulihat seseorang itu sedang dengan perasaan yang dingin berdiri di tepi Danau.

“loh, Rakha ngapain kamu disini?” tanyaku di Taman tepi danau tempat aku bertemu dengan Fadhli dengan harapan bahwa aku benar-benar akan bertemu dengannya lagi. “eh loe, apa kabar? Bukannya gua yang harusnya lebih dulu nanya apa yang loe Tanya?” jawab Rakha dengan nada sok bijaknya bertabur dengan senyum manis yang memang selalu ia berikan kepada setiap orang yang menjumpainya. “kabar baik, maaf. Bagaimana denganmu?” jawabku dengan lugu dan tertunduk. “ya, gue baik” jawab Rakha dengan senyum yang lebar. “ehmm, oh yaudah aku pergi dulu” lanjutku berbalik meninggalkannya. “eh mau kemana, kita kan baru ketemu. Lagian loe kenapa sih, ketemu temen yang udah lama ngak ketemu malah ditinggal gitu aja. Dan gue harap loe mau jawab pertanyaan gue tadi.” Cegah Rakha terhadapku. “eh iya sory, ehmm pertanyaan yang mana?” jawabku sedikit menghindar darinya. “masa harus diulang sih? Loe kenapa sih, kaya orang baru ketemu temen baru aja. Gue kan temen lama loe? Jangan kikuk gitu, nyantai aja kali lagian kan kita baru ketemu lagi …” jelas Rakha terhadapku dengan tawa sok cool nya. “hehe, ngak kok cuma respon dari akunya emang begini.” jawabku dengan harapan bisa meyakinkan Rakha. “eh, loe ngapain kesini? Bukannya loe pernah bilang ya, kalau waktu itu loe bilang loe benci sama Taman? Bener ngak?” pertanyaan yang membuat aku menjadi binggung apa yang harus aku jawab jika memang kenyataanya begitu. “ehmm emang ya, lupa tuh? Eh yang kamu bilang di Kampus soal Fadhli keDimas itu bener?” aku berharap dia tidak menyambung pertanyaanya dan mulai menjawab pertanyaanku mengenai Fadhli. “soal apa?” tegas Rakha, “soal itu loh, katanya Fadhli ngilang?” jawabku dengan nada yang rendah dan ketakutanku untuk mengatakannya, aku membayangkan seolah Fadhli berada di tepi Danau ini dengan perasaan sebahagia waktu itu. Bertemu dengan sepasang merpati yang telah di anggapnya mati. “oh soal itu, iya bener. Kenapa emang?” Rakha menjawab seolah seperti seorang yang tak bersalah atas berbagai tuduhan seorang narapidana. “kok kamu gitu sih jawabnya?” jawabku dengan nada yang kecewa. “ya emang harus gimana?” tegasnya yang membuat aku semakin kesal. “ya, sedih dikit gitu. Simpati dikitlah sama saudara, di cariin kek” kesal rasanya aku berbincang dengan Rakha, harusnya ia Fadhli yang berdiri di tepi Danau ini. “yah, ngak usah di Tanya soal itu mah. Gua sama keluarga juga nyariin dia” batu yang digenggam Rakha di lemparnya ke danau, jauh seolah ia melemparkan kekesalannya. Ingin aku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi ini bukan hakku walaupun aku teman mereka.

”apa loe masih tertegun ngeliat gue berkelakuan kaya waktu itu di caffe?” sambung Rakha yang membuatku agak terkejut. Rakha seperti bisa membaca fikiranku, baru aku mengharapkannya dia sudah menjawabnya. “eekkhh ngak kok, tapi iya sih sedikit ..” ragu aku menjawabnya, dan tak enak hati aku mengucapnya. “ya, mungkin bagi loe sedikit, tapi bagi kakak gue itu luar biasa menyakitkan buatnya” jelas Rakha yang tiba-tiba dengan perkataannya merubah keadaan menjadi sebuah kehancuran peperangan. “maksud kamu? Menyesalkah?” tanyaku dengan penuh keraguan dan rasa ingin tahu yang lebih.”loe dibalik pohon itu kan kemarin? Memandangi orang yang loe kagumi dan loe anggap penakluk dalam setiap bahtera puisi loe.” jelas Rakha yang membuatku sontak kesal dengan apa yang telah ia keluarkan bersamaan dengan rasa sok tahunya. “kamu ! ternyata kamu juga disana, dan kenapa kamu tidak menghampirinya. Dan jangan memulai perkataan sok tahumu itu !” jelasku dengan nada yang amat kesal dan marah. Mengapa tidak dia hampiri, mengapa dia begitu bodoh, dia bilang keluarganya mencarinya, lalu kenapa tidak dia hampiri dan ajak berdamai. Jika Rakha menghampirinya kemarin, atau aku menghampirinya kemarin, mungkin Fadhli telah bersama kembali dalam naungan keindahan dengan kami. Kesal aku mengharapkan semua angan-angan ini, kembali ke dalam waktu yang telah lama hilang adalah sesuatu yang sungguh tidak mungkin.

Sungguh amat kecewa aku terhadapnya, setelah Rakha menjelaskan apa yang telah terjadi di caffe waktu itu. Entah aku harus percaya atau tidak, tapi Fadhli sudah tidak pernah kami liat lagi jemari tangannya yang lihai dalam memainkan alat musik handalannya gitar. Sore itu aku duduk di tepi Danau bersama Rakha, ia bercerita semua yang aku tanyakan. Tidak pernah aku ingin percaya apa yang telah Rakha beritahu kepadaku, ingin aku bisa mengenal Fadhli lebih jauh dan membimbingnya ke jalan yang menurutku benar, ternyata aku salah tentang Fadhli selama ini. “loe harus tahu satu hal kenapa gue bilang di caffe waktu itu, kalau gue udah ngak mau lagi jadi adiknya. Walaupun emang gue bukan adiknya. Dan loe taukan, dengan tangan gue mukanya jadi biru berlumuran darah. Itu semua karena perbuatan dia sendiri, bukan gue. Dia memakai Narkoba dan melakukan hal yang seharusnya ngak dia lakuin. DIA, DIAKAH ORANG DALAM BAHTERA YANG SELALU LOE BANGGAIN?” perkataan Rakha itu selalu teringat dan tak ingin kuingat rasanya, namun aku masih tak percaya padanya. Namun, Rakha bilang dia pun sedih kehilangan kakaknya walaupun dia bilang tak mau lagi memanggilnya dengan sebutan begitu. Entah apa yang telah merubah seorang Fadhli, yang dahulu baik namun sekarang telah terbalik. Terpukul aku setelah tahu bahwa ia adalah seorang bandar Narkoba di kampusnya, keluarga Fadhli tak tahu harus kemana mencarinya lagi. Kabar angin yang terembus ketelinggaku bahwa ia telah pergi jauh, tapi aku selalu merasa bahwa ia ada di tepi danau dengan penyesalan berlebih. Di tepi danau dengan sepasang merpati impiannya, tersenyum dengan bangga namun tak punya pasangan. Impiannya seolah terkubur dengan kepakan sayap sang merpati yang jatuh kebawah, terbunuh oleh angin. Andai engkau bertemu denganku, atau dengan keluargamu kami akan membuatmu seperti dulu. Tapi apa daya, ini adalah pilihanmu dan semua yang kamu punya baik, kurasa telah tertelan duniamu.

Tidak seindah yang kita inginkan, namu akan indah bila kita menjalaninya dengan benar dan tujuan yang jelas. Kehidupan memang bukan sahabat yang baik, tapi tujuan dari keidupan adalah harapan yang baik dan pencapaian yang harus dilalui. “ya walaupun jadinya cuma ber3 tapi yang penting kita ngumpul lagi dah” canda Dimas setelah perform kami di cafe biasa. “ternyata harapan itu bisa terwujud dengan cepat juga ya” sahutku dengan tawa dan senyuman. “iya, gue harap kita bisa kaya dulu lagi” jawab Rakha dengan penuh harap. “kayanya kita dapet satu harapan lagi nih …” canda Dimas dengan tawa lepasnya yang membuat suasana menjadi menyenangkan dengan tawa kami. Seolah indah dalam kesedihan, perasaan senang harus selalu di perlihatkan. Jengkel aku dengan semua ini, namun harus kupandang senang dan gembira melalui tafsiranku ini.

Aku pulang kerumah dengan perasaan senang, karena rasanya aku seperti kembali kemasa kami bersama-sama. Walaupun tak bisa lengkap seperti melengkapi lauk-pauk orang pinggiran yang mengemis makanan. Hingga sekarang aku tak tahu, siapakah sang merpati yang ia banggakan dan senangi. Dengan sentuhan sang pasangannya ia dapat tersenyum lebar di tepi danau, aku yakin ialah orang yang dapat menenagkan sang Fadhli. Tapi ia tak nampak ketika Fadhli membutuhkannya, ah sudahlah itu bukan urusanku mengapa harus aku fikirkan, tentangnya seperti sudah sirna. ”Assalamualaikum” salamku dari depan pintu menuju ruang tamu hendak bersalim dengan ibuku. “Waalaikumsalam eh kebetulan nak, cepet kesini” jawab ibuku dengan tergesa menyuruhku untuk menonton berita di televisi yang entah apa isinya. “itu Fadhli bukan?” Tanya ibuku dengan kejelian kacamatanya berharap bahwa yang dilihatnya salah. “ah masa bu, ngak mungkin lah” jawabku singkat dengan harapan yang sama seperti ibuku. “ah iya, coba kamu perhatikan lagi” jelas ibuku. “astaghfirullah iya bu” seketika air mataku mengucur tak terbendung, sang penakluk telah ditaklukan oleh para petugas pengamanan Negara dalam kasus penyelundupan Narkoba dan dia ditemukan dalam keadaan yang tak ingin pernah kulihat. Seorang Napi yang tak sehat bukan di taruh di penjara, melainkan di rumah kesehatan. Fadhli terkena step dan harus dirawat sebelum akhirnya meninggal karena overdosis. Tapi namaku Gendhis.

 

Depok, 25 Agustus 2014; Edit at 04 September 2014

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline