Lihat ke Halaman Asli

Aziz Abdul Ngashim

pembaca tanda dan angka

Ayu Utami, Jogja, dan Selembar Kisah yang Tersisa

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

adzan isya baru selesai berkumandang dari masjid yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah saat sebuah dering sms dari mas Agung Poku menghampiri, menanyakan tentang ajakan mas Gugun untuk ikut meramaikan acara launching buku terbaru dari Ayu Utami. tapi karena sudah terburu janji dengan mba Shasa untuk menemui mas Fathoniyang mampir ke Jogja, terpaksa saya cancel ajakan dari mas agung poku. namun hidup memang sebuah misteri, janji pertemuan kami dengan mas fathoni justru dilaksanakan di Yayasan Umar Kayam alias tempat Ayu Utami buka-bukan tentang "Manjali dan Cakrabirawa" novel terbarunya.

jujur saya akui, saya bukanlah penggemar Ayu Utami walaupun saya mengakui ayu adalah seorang penulis handal, buku-buku yang dihasilkan dalam jagad sastra indonesia berhasil merengkuh berbagai penghargaan sudah lebih dari cukup untuk menjadi buki sahih kehebatan tangan Ayu Utami menari merangkai kata dalam sastra. hanya saja mungkin saya kurang sepaham dengan gaya menulis ayu yang cendrung vulgar, tanpa basa-basi. tulisan yang oleh sebagian orang (bahkan sastrawan lain) sebagai "perusak" tapi justru dari karya-karya seperti itulah pemilik nama lengkap Justina Ayu Utami mendapat penghargaan sebagai "pendobrak".

apa yang dilakukan Ayu Utami dengan karyanya tentu saja tidak salah, seni itu soal selera, dan selera menciptakan warna hingga tampil aliran-aliran dalam khazanah dalam dunia seniman. toh hal ini pulalah yang menjadikan kepingan-kepingan mozaik sastra indonesia semakin menarik untuk diikuti. tapi pro dan kontra selalu ada, penulis-penulis yang sealiran seperti Clara Ng, Dinar Ayu, hingga Djenar Mahesa Ayu tetap berada pada pendirian mereka bahwa tak ada pagar dalam seni. hal ini berbenturan dengan pemahaman Taufik Ismail, Gola Gong, hingga Saut Situmorang bahwa moral harus juga dikedepankan dalam setiap tulisan.

tapi sekali lagi, seni adalah soal, inspirasi, imajinasi dan hak asasi. anda suka anda baca kalau tidak suka tutup bukunya. salah satu karya yang cukup membuat mata sastrawan terbelalak adalah "larung" yang merupakan karya lanjutan Ayu Utami dari karya pertamanya "saman". dan yang sangat keras mendapat keritikan para kritikus sastra adalah karya Djenar Maesa Ayu bukunya yang berjudul "Waktu Nayla" menceritakan tentang adegan oral seks antara seorang anak perempuan dengan ayah kandungnya! Luar biasa berani! Yang menurut Kathrin Bandel, seorang kritikus sastra, novel itu tidak mempunyai logika cerita. (rizal amanfaluti : 2007)

Ayu Utami tetaplah Ayu Utami dengan idealisme menulisnya. namun ada satu kutipan menari dari ayu utami dalam bincang-bincang tadi, yaitu soal "sastra serat" dan "sastra tanpa serat". sastra tanpa serat diibaratkan sebuah makanan seperti bubur. sudah lembut renyah dan tinggal telan saja, tanpa perlu usaha keras untuk menelan. walaupun secara eksplisit Ayu Utami tetap mencoba untuk objektif dan tidak membeda-bedakan dan menghakimi, tapi toh dari mimik dan bagaimana ayu merangkai kalimat, secara implisit ayu sedang menyindir dunia sastra indonesia yang semakin cengeng (baca alay lebay). memang novel-novel akhir-akhir ini lebih didominasi oleh religi romantis, hingga novel yang tidak jelas lagi antar fakta atau fiksi, karena hainya penuh bertabur metafora yang lebih berbau dongeng.

Membincang pengecaman buku (baca karya sastra/tulisan) sama halnya dengan berbicara tentang kontroversi. Sebuah kontroversi menoleransi munculnya dua sisi penilaian, hitam dan putih. Bergantung dari terminal pemikiran mana ia mengapresiasinya. Kecaman Taufiq Ismail terhadap maraknya karya sastra yang ia sebut beraliran SMS (Sastra Mazhab Selangkangan) yang dipunggawai Hudan Hidayat, Ayu Utami, dan kawan-kawan, tentu tak akan pernah sealur dengan optik penilaian yang dipakai para penentangnya.

Mereka berpandangan sastra adalah khazanah nirbatas, termasuk batas moral sekalipun. Beberapa tahun silam, trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya fenomenal Ahmad Tohari pun tak luput dari kecaman. Sejumlah guru sekolah menilai novel sastrawan asal Banyumas ini diwarnai dengan “visualisasi” adegan mesum yang tak laik dibaca anak usia sekolah. Walaupun kita tahu, karya ini termasuk di antara karya terbaik jagad kesusasteraan Nusantara, toh tak luput dari kecaman. (geib, goodreads : 22 agustus 2008).

Selama ini unsur SARA (suku, agama, dan ras), moral, pendidikan, dan seksualitas masih menjadi barometer guna mengukur responsibilitas kaum pembaca buku. Harus tertanam kehati-hatian agar penulis tak tergelincir untuk mempermainkan zona yang dianggap berbahaya, semisal batas-batas akidah dengan mengumbar imajinasi liarnya, terkadang ada yang perlu dikeluarkan dan ada pula yang perlu untuk di tahan terlebih dahulu. walaupun pada akhirnya kembali pada hak asasi penulis itu sendiri.

selalu saja ada hikmah dari setiap pertentangan dan kontroversi, kontroversi justru menjadi iklan gratis bagi penulis maupun karyanya. yang memancing ras penasaran khalayak ramai. lihat saja buku "saman" yang sempat memicu kontroversi berhasil menembus angka penjualan lebih dari 55.000 eksemplar, ini tentu sebuah cerita cukup fantastis untuk karya sastra "berat" dari seorang penulis pemula (saman karya pertama Ayu Utami tahun 1998).

memang tak ada alasan untuk menyalahkan satu jenis karya sastra karena setiap karya adalah hasil dari perjuangan kreatif dari penulis. dan gaya  penulisan juga adalah sebuh proses panjang pencarian jati diri. ada bahasan kecil dari Ayu Utami saat menyinggung Romo Mangun yaitu perubahan gaya penulisan dari karya pertamanya "roro mendut" yang sangat artistik berbeda dengan karya-karya Romo Mangun berikutnya yang agak lebih "sederhana". jadi, apakah Ayu Utami akan sedikit merubah gaya menulisnya dari karya-karyanya yang terdahulu menjadi sebuah misteri tersendiri dalam jagad sastra nusantara, mungkin jika ayu utami menulis lebih "halus", maka bisa jadi salah satu keajaiban dunia sastra indonesia.

salam kompasiana,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline