Azis Maloko
Tidak terasa sekarang umat Islam sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal demikian menandakan bahwa sebentar lagi bulan Ramadhan akan berakhir dan kembali meninggalkan umat Islam seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, memasuki babak ketiga bulan Ramadhan, yakni sepuluh hari terakhir, terdapat banyak amalan yang diperintahkan untuk dimaksimalkan dengan sebaik mungkin, baik wajib maupun sunnah. Olehnya, kita perlu melakukan refleksi dan muhasabah terhadap pelbagai amalan yang dilakukan selama bulan Ramadhan; apakah ada peningkatan atau malah stagnan dan bahkan mengalami degradasi yang super akut?
Pertanyaan reflektif lainnya adalah ketika bulan Ramadhan berakhir dan atau pergi, apakah berakhir dan atau pergi pula pelbagai kesalehan yang dilakukan selam bulan Ramadhan? Orang beriman akan berusaha semaksimal mungkin untuk terus mempertahankan capaian kesalehan dalam bulan Ramadhan meski sudah berakhir bulan Ramadhan. Sebab, kesalehan yang dilakukan oleh orang beriman bukan semata hanya dalam bulan-bulan tertentu saja, misalnya dalam bukan Ramadhan. Akan tetapi, kesalehan dilakukan sepanjang hayat; ruang dan waktu. Selama hayat masih dikandung badan, maka selama itu pula harus terus melakukan amal saleh.
Hal demikian dikarenakan orang-orang beriman bukan "hamba Ramadhan", akan tetapi mereka adalah hamba Allah (kun rabbniyyn wal takun ramadhniyyn). Artinya, orang-orang beriman menjadi hamba dan atau beribadah kepada Allah bukan hanya dalam bulan Ramadhan semata. Mereka, orang-orang beriman, tetap beribadah pada Allah, walau pun bulan Ramadhan sudah berakhir dan pergi. Bahkan tidak ada bulan Ramadhan sekalipun misalnya, orang-orang beriman tetap beribadah kepada Allah. Sebab, mengenal dan beribadah kepada Allah hanya dalam bulan Ramadhan saja adalah bagian dari seburuk-buruknya kaum (bi'sa al-qaum l ya'rifun illa f ramdhn).
Ada sebuah ungkapan menarik dari Nabi Muhammad saw sebagai basis dalam merefleksikan diri pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini. Ungkapan dimaksud bertalian dengan prinsip dasar dalam beramal saleh bagi orang-orang beriman. Ungkapannya terbilang agak pendek, hanya beberapa kata saja, nampaknya cukup familiar dalam memori ingatan umat Islam, setidak-tidaknya bagi kalangan pembelajar ilmu syar'i. Ungkapan demikian terekam dalam hadis sahabat Sahl bin Sa'ad al-Sa'id yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Bunyi hadisnya mengatakan bahwa "sesungguhnya (setiap) amalan seseorang (itu) tergantung pada akhirnya" (innam al-'a'mal bi khawatim).
Sebenarnya ungkapan tersebut bagian akhir dari hadis yang panjang. Dikutip hanya bagian yang relevan untuk menjelaskan prinsip dasar dalam beramal saleh. Meskipun potongan ungkapan tersebut terbilang agak pendak, namun ungkapan tersebut sarat akan makna. Bahkan ketika disyarah jadinya panjang kali lebar. Karena, syarahnya akan menggunakan pendekatan hadis-hadis lainnya dan juga ayat-ayat al-Qur'an serta perkataan sahabat dan para ulama. Hal demikian terbilang wajar-wajar saja oleh sebab antara teks bahasa agama satu dengan lainnya saling terkait dan menjelaskan. Sehingga, biar ungkapannya pendek, namun cakupan maknanya dalam dan luas.
Menurut seorang Az-Zarqani ketika menjelaskan hadis tersebut dikatakan bahwa maksud dari hadis sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya adalah amalan akhir yang dilakukan oleh seorang manusia itulah yang menjadi penentu kehidupannya setelah kematian. Sebab, amalan terakhir itu pulalah yang akan dibalas dikemudian hari. Maka, siapa yang beramal buruk lalu kemudian dalam perjalanannya beralih dengan melakukan amalan saleh, maka dinilai sebagai orang yang bertaubat dan itulah yang akan menentukan akhir hidupnya. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman kepada kekufuran lalu meninggalkan, maka dianggap murtad dan itulah akhirnya.
Dengan demikian, hadis tersebut secara langsung maupun tidak langsung menekankan tentang pentingnya komitmen dan kontinuitas dalam beramal saleh. Karena, untuk bisa mendapatkan akhiran yang baik dan selamat dalam beramal saleh, maka diperlukan namanya komitmen di sana. Bahkan komitmen dalam beramal saleh sendiri menjadi bagian tidak terpisahkan dari hadis tersebut. Dengan komitmen dalam beramal saleh, maka dapat dipastikan hal demikian menjadi kebiasaan, kebudayaan dan karakter bagi seseorang dalam hidupnya hingga pada akhirnya menjadi sulit rasanya untuk ditinggalkan. Apalagi kalau di sana ada pula kalkulasi pahala dan dosa juga.
Selain itu, hadis tersebut sebenarnya menjadi warning bagi setiap orang beriman yang tengah dan terus melakukan amalan saleh bahwa tidak boleh merasa sombong dan aman dengan amalan saleh yang dilakukan dalam hidup. Sebab, fitnah kehidupan datang silih berganti menguji komitmen dan kontinuitas kesalehan yang dibangun dan dilakukan dalam hidup. Sangat boleh jadi di waktu pagi hari kita dalam keadaan beriman dan beramal saleh, namun pada malam harinya malah kita menjadi fasik dan kafir. Sebaliknya, sangat boleh jadi malam hari kita dalam keadaan beriman dan beramal saleh, namun pagi harinya malah kita menjadi fasik dan kafir (HR Muslim).
Ada kasus menarik yang bisa dikembangkan dari logika hadis tersebut dalam kaitannya dengan kontestasi Pemilu (karena kebetulan masih dalam suasana dan nuansa politik). Misalnya, Pemilu tingkat legislatif dengan menyertakan calon legislatif dan partai incumbent. Di mana hasil Pemilu menunjukkan banyak calon legislatif dan partai incumbent dinyatakan tidak lolos melenggang ke Senayan. Jika diterjemahkan dalam konteks logika hadis, maka dapat dikatakan bahwa ada anggota legislatif dan partai politik lolos Pemilu 2019, namun pada Pemilu 2024 malah tidak lolos. Itu adalah tamtsil tentang perubahan dalam hidup, baik terkait dengan politik maupun kesalehan.
Padahal calon legislatif dan partai politik incumbent memiliki saham yang besar dan instrumen politik yang terbilang agak lengkap untuk melakukan kerja-kerja politik dalam rangka menjaga konstituen politik, meng-up popularitas dan trend politik elektoralnya sekaligus melanggengkan hasrat kuasa(politik)nya. Di mana mesin politik sudah bekerja semenjak didapuk menjadi bagian dari "keluarga besar Senayan" dengan menggunakan "fasilitas negara", mulai dari melakukan kunjungan reses disertai dengan bantuan sosial terhadap masyarakat, lembaga sosial dan keagamaan dan lain sebagainya. Sehingga, benar-benar memiliki modal(itas) sosial-politik.