Menjelang Pemilu serentak pada tahun 2024 mendatang hingar-bingar politik kian terlihat di mana-mana. Bersama dengan itu, banyak juga problem yang bermunculan menyertai hinggar-binggar dunia perpolitikan kita. Terekam kurang lebih dua persoalan yang dianggap cukup penting untuk diutarakan.
Pertama; kurangnya edukasi politik bagi dan atau terhadap konstituen politik, pada tingkat akar rumput maupun kaum intelektual dan elitis. Persoalannya adalah ternyata masih cukup banyak konstituen politik yang belum begitu memahami kans dan tiket politik untuk masing-masing caleg DPR RI yang menjadi jagoannya. Mereka mengira bahwa untuk menjadi anggota legislatif DPR RI hanya ditentukan oleh suara Dapilnya semata.
Hal demikian terbilang cukup wajar sekali oleh sebab konstituen politik pada sesungguhnya bertingkat-tingkat. Tingkatan konstituen politik ini mengikuti pola logika tingkatan pemilih politik pada umumnya. Ada konstituen politik emosional. Ada konstituen politik transaksional.
Ada pula konstituen politik cerdas dan kritis. Dua tipologi konstituen sebelumnya, emosional dan transaksional, merupakan konstituen politik yang kurang melek (dengan) politik, irasional dan tidak kritis. Mereka berpolitik hanya sekedar menyalurkan hak politiknya sekaligus ikut ramai saja di dalamnya.
Tipologi konstituen politik semacam itu _meminjam istilah (hukum) Islam_ disebut dengan seorang muqallid, orang yang berpolitik hanya sekedar ikut-ikutan, termasuk mengikuti trand dan ramai saja. Seorang muqallid adalah orang yang tidak mempelajari dan memiliki ilmu khusus dalam dunia perpolitikan.
Sama dalam agama, seorang tidak mempelajari dan mendalami ilmu agama secara khusus dikatakan sebagai muqallid, hatta dirinya seorang doctors dan profesor sekalipun. Konsekuensinya adalah eksistensi politiknya sangat ditentukan oleh "arah angin". Sekiranya "arah angin" berhembus ke Barat, maka tiada kuasa bagi seorang muqallid kecuali turut mengikutinya.
Kedua; kurangnya kesadaran etik dalam politik. Problem ini bukan saja terjadi pada masyarakat akar rumput, tetapi rupanya juga terjadi pada kalangan intelektual dan elitis. Problem ini terbilang banyak, namun dibatasi hanya pada "arogansi politik".
Wujudnya dapat dipotret secara langsung dalam jagat perpolitikan kita, yakni tindakan "meremehkan" hal-hal elementer dalam politik. Misalnya, meremehkan suara pada wilayah tertentu. Meskipun, suara politik kita sudah terbilang aman dan suara pada wilayah tertentu dalam dapil tidak begitu signifikan misalnya, tidak lantas kemudian dikatakan suara daerah tersebut tidak penting dan tidak dibutuhkan.
Sekiranya logika "arogansi politik" semacam ini mengudara dari kalangan muqallid politik (mungkin) tidak ada masalahnya. Wong, muqallid politik tidak memiliki pembendaharaan ilmu yang cukup untuk menjelaskan hal ihwal yang menjadi pilihan dan tindakan politiknya.
Namun, rupa-rupanya logika semacam itu mengudara dari kalangan intelektual dan elitis. Sehingga, memberikan kesan dan pesan politik yang nampaknya kurang elegan dan enak untuk didengar, apalagi ditauladani sebagai sebuah kecerdasan dan pencerahan politik di tengah-tengah maraknya fenomena politik nir akal dan moralitas. Meskipun, tidak dinafikan bahwa logika demikian bisa saja bagian otokritik terhadap laku politik tertentu.