Azis Maloko
Tidak kenal, maka tidak sayang adalah sebuah ungkapan puitis yang menggambarkan betapa pentingnya apa yang dimaksud dengan sikap dan proses saling kenal dalam hidup. Tidak mungkin ada sayang dalam sebuah hubungan jika tidak ada proses pengenalan di dalamnya. Memang jika dirunut akar genelogis atau tepatnya konteks historisitas yang mengilhami lahirnya pepatah tersebut terlihat bahwa latarnya adalah persoalan terkait dengan hal ihwal dunia romantika.
Di mana untuk saling sayang dalam dunia romantika, maka perlu kiranya ada namanya proses saling kenal-mengenal antara satu dengan lainnya. Namun, tidak salah juga jika sekiranya pepatah demikian dikembangkan lebih jauh lagi masuk menyentuh hal ihwal lainnya yang menekankan pentingnya proses pengenalan di dalamnya. Seperti pengenalan tentang pentingnya al-Islam sebagai agama (ad-din) dalam hidup dan kehidupan kita semua.
Meskipun, tidak dinafikan pula bahwa proses pengenalan Islam jauh lebih kompleks bila dibandingkan dengan pengenalan dalam dunia romantika. Sebab, pengenalan terhadap Islam tidak boleh sambil lalu, apatah lagi hanya sekedar iseng-iseng dan mengisi waktu-waktu kosong. Akan tetapi, pengenalan membutuhkan kerja-kerja keilmuan yang baik dan benar.
Di dalamnya juga harus ada ghirah (semangat), mujahadah (kesungguhan) dan azzam (komitmen) serta kesabaran yang super ekstra. Kecuali memang pengenalan kita hanya sebatas muqallid (mengikuti ahli) begitu saja tanpa perlu repot-repot mengetahui rancang bangun keilmuan yang digunakan di dalamnya. Juga karena pengenalan terhadap Islam tidak hanya semata melahirkan rasa cinta dan sayang begitu saja, apalagi hanya sekedar klaim dan pepesan kosong untuk sekedar mengakui sebagai bagian integral dari Islam. Akan tetapi, pengenalan yang melahirkan keimanan, pengamalan dan penghayatan dalam kehidupan nyata secara konsekuen sesuai dengan hirarki kemampuan masing-masing.
Dalam Islam, proses pengenalan mendapat legacy yang luar biasa. Sampai-sampai terdapat begitu banyak teks bahasa agama (al-Qur'an dan hadis) dan qaul ulama rabbani yang mencoba menjelaskannya. Bahkan terdapat perintah dan larangan secara khusus di dalamnya; perintah untuk melakukan pengenalan sebelum jauh mencelupkan diri kita dalam rangkaian amalan perbuatan dan larangan untuk melakukan suatu perbuatan sebelum ada proses pengenalan di dalamnya. Semuanya dimaksudkan semata agar supaya ada ilmu, petunjuk dan bimbingan bagi setiap kita (yang mengaku sebagai bagian dari Islam) dalam berislam secara kaffah, baik dalam tataran teoretis-konseptual dan praktis-aplikatif maupun bertalian dengan perkataan (qaul) dan perbuatan (af'al) pada umumnya. Karena, pengenalan kita terhadap Islam melahirkan ilmu, lalu kemudian dengan ilmu melahirkan iman dan dengan ilmu dan iman akan melahirkan konsistensi amal perbuatan.
Setidaknya terdapat tiga klasifikasi umum tentang legacy teks bahasa agama terhadap proses pengenalan Islam. Pertama; lagacy dalam bentuk perintah. Di sini kita akan menemukan betapa banyak teks bahasa agama yang memberikan legacy perintah tentang pentingnya pengenalan terhadap Islam. Di antara ayat al-Qur'an yang memberikan legacy perintah menuntut ilmu adalah QS al-Nahl/43 dan QS Muhammad/19. Dalam QS al-Nahl/43, Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk bertanya dan belajar kepada mereka-mereka yang dikategorikan sebagai ahli zikir, yaitu ahli ilmu dari kalangan para ulama robbani maupun yang mengikuti jejak langkah mereka. Meskipun, ayat ini secara khusus dialamatkan kepada mereka-mereka yang dikatakan belum memiliki ilmu, namun bukan berarti perintah menuntut ilmu di dalamnya hanya semata untuk mereka-mereka yang belum memiliki ilmu, akan tetapi juga berlaku umum bagi setiap umat Islam untuk menjadikan aktivitas menuntut ilmu sebagai jalan untuk menemukan dan mendapatkan pencerahan dalam hidup sebagaimana ditegaskan dalam QS Muhammad/19.
Selain itu, terdapat pula beberapa hadis yang memberikan legacy perintah melakukan pengenalan terhadap Islam. Namun, akan dikemukakan tiga di antara sekian banyak hadis dimaksud. Tentunya, tidak bermaksud untuk membatasi dan mengatakan hadis lainnya tidak begitu penting dan relevan dengan konteks percakapan. Hadis pertama berbicara tentang perintah menuntut ilmu dari buaian hingga ke liang lahat, uthlub al-'ilma min al-mahdi ila al-lakhdi (ada yang mengatakan hadis, ada pula yang mengatakan bukan hadis).
Hadis selanjutnya berbicara tentang perintah untuk memiliki ilmu terlebih dahulu sebelum seseorang menginginkan dunia atau akhirat atau kedua-duanya sekaligus, man aroda dunya fa'alaihi bi al-'ilmi wa man aroda al-akhiroh fa'alaihi bi al-'ilmi wa man aroda hum fa'alaihi bi al-"ilmi (HR Bukhari). Terakhir, hadis yang berbicara tentang perintah menuntut ilmu secara umum yang dialamatkan kepada laki-laki dan perempuan muslim, thalaba al-'ilmu faridhatu 'ala kulli muslim (HR Ibnu Majah).
Kedua; legacy dalam bentuk larangan. Di sini juga kita akan menemukan betapa teks bahasa agama memberikan legacy larangan melakukan sesuatu dalam Islam sebelum ada proses pengenalan. Salah satu ayat al-Qur'an yang berbicara tentang masalah ini adalah QS al-Isra/36. Dalam ayat ini Allah dengan tegas melarang umat manusia untuk melakukan sesuatu, baik dalam bentuk perkataan dan perbuatan, yang di dalamnya mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Karena, ada kesadaran eskatologis di dalamnya, yakni semua instrumen epistemologis (mulai dari pendengaran (as-sam'a), pengelihatan (al-bashar) hingga pada hati dan akal pikiran (al-fuad)) akan diminta pertanggungjawabannya di hari kiamat nantinya. Meskipun, ayat ini berbicara dalam kerangka legacy larangan, akan tetapi mafhum mukhalafahnya adalah perintah untuk menuntut ilmu sebelum jauh bernostalgia dengan pelbagai perbuatan dalam berislam pada umumnya. Artinya, agar supaya kita bisa melakukan sesuatu dengan baik dan benar dalam konteks Islam tentunya, maka kita perlu membekali diri terlebih dahulu dengan apa yang dinamakan sebagai ilmu. Dengan kata lain, ayat tersebut hanya melarang orang yang tidak punya ilmu ketika hendak melakukan suatu hal.
Ketiga; legacy dalam bentuk khabar. Di sini kita akan menemukan secara khusus khabar yang diwartakan oleh teks bahasa agama dalam bentuk reward (kabar gembira; penghargaan, pahala, maqam khusus dan lain-lain) maupun dalam bentuk punishment (kabar menakutkan; sanksi, dosa dan lain-lain). Legacy kabar yang memberikan reward adalah QS al-Mujadalah/11 dan QS al-Ashr/1-3. Dalam kedua ayat ini, orang-orang yang berilmu (tentunya juga beriman dan beramal saleh) akan mendapat reward berupa diangkat beberapa derajat serta dikecualikan dari segala bentuk manifestasi kerugian, di dunia dan akhirat. Dalam sebuah hadis yang panjang dikatakan bahwa barangsiapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu niscaya akan dibukukan baginya (dengan pelbagai kemudahan ilmu, iman dan amal di dalamnya) untuk menuju surga, man salaka thariqn yaltamisu fhi al-'ilm sahhal Allah lahu bihi thariqn 'ila al-jannah (HR Muslim). Senada dengan itu, Nabi juga mengatakan bahwa barangsiapa yang keluar untuk menuntut ilmu niscaya selalu berada di jalan Allah hingga kembali pulang, man kharaja f thalab al-'ilm fahuwa f sabili Allah hatta yarji'a (HR Tirmidzi).