Azis Maloko, M.H.
Lamakera boleh dikatakan sebagai kampung adat. Kampung yang memiliki adat istiadat yang unik dan tentunya sangat menjunjung tinggi adat. Hal ini bisa dilihat dari berbagai aktivitas yang berlangsung di Lamakera. Tidak ada ruang sedikit pun dalam aktivitas kehidupan masyarakat Lamakera melainkan di sana ada (cita rasa) adatnya.
Banyak contoh praktikal kehidupan masyarakat yang selalu disertai adat Istiadat. Bahkan bertalian dengan (hal ihwal) agama sekali pun juga adat semacam tidak absen. Di sini bisa dikatakan ada "keunikan" bagi masyarakat muslim Lamakera dalam menterjemahkan relasi agama dan adat. Misalnya soal pernikahan bukan saja soal agama, tetapi di sana terdapat muatan-muatan adat istiadat yang begitu kental, mulai dari pra hingga dengan pasca pernikahan.
Meskipun demikian, masyarakat Lamakera juga dikenal dan diakui sebagai masyarakat religius; suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kesadaran religius yang terbilang cukup baik. Bukan saja pengakuan yang bersifat subjektif karena bagian dari comunitas masyarakat Lamakera, akan etapi karena objektivasi kenyataannya di lapangan dalam segmentasi kegiatan masyarakat pun selalu menyertai nilai-nilai religiusitas. Lebih dari itu, ada beberapa "peneliti lepas" dari luar Lamakera yang berkunjung dan melakukan penelitian terhadap kehidupan masyarakat Lamakera pun mengandaikan demikian.
Jika sekiranya seorang Christian Snouck Hurgronje (1757 - 1837) masih hidup dan mau sedikit memperluas "penelitian prematur"-nya terhadap relasi agama dengan adat di pulau bagian timur Indonesia, maka ia tidak hanya melahirkan teori sesatnya yang bernama "receptie" (yang mengandaikan bahwa hukum adat sebagai "tuhan" dalam menentukan boleh dan tidaknya hukum Islam diterapkan hatta dalam comunitas masyarakat muslim sekali pun), tetapi juga teori-teori lainnya.
Bisa saja dalam konteks demikian SCH malah bersepakat dengan teori-teori pemberlakuan hukum (Islam) sebelumnya mulai dari teori Kredo hingga teori receptie in complexu maupun setelahnya baik teori receptie exis Prof. Hazairin, teori receptie a contrario hingga teori konstitusi. Sebab, tidak semua masyarakat adat (muslim) bersifat antagonistik dan konfrontatif dengan hukum Islam yang notabene merupakan bagian integral dari identitas inhern keberagamannya.
Kalau pun ada kecenderungan lain seperti yang terjadi pada masanya dan pada rezim orba, maka hal demikian lebih disebabkan karena terjadinya perjumpaan peradaban yang melahirkan nalar yang cenderung inforior dihadapan nalar peradaban lainnya. Pada sisi lain, kecenderungan nalar politik rezim yang sekuler liberal juga cukup berperan penting di dalamnya. Sehingga faktornya tidak otentik, ada faktor-faktor lain bahkan bersifat destruktif negatif.
Di Aceh sana yang menjadi tempat penelitian relasi agama dan adat sekalipun tidak semuanya berpandangan sama seperti apa yang menjadi pahaman dan kesimpulannya dalam rumusan teori receptie. Namun, karena watak worldview yang menjadi alas pijak dalam membaca rumuskan sebuah fakta bersifat sekuler liberalistik, maka ia cenderung membawa nalarnya dalam lingkaran setan yang bernama thinking of vallacy, di antaranya melakukan over general terhadap keberterimaan hukum adat terhadap hukum Islam sebagai syarat penerapan dan pemberlakuan hukum Islam.
Berbeda dengan Lamakera, dengan komitmen adatnya yang tinggi masih tetap memberikan ruang yang selebar-lebarkan terhadap aktualisasi nilai-nilai ajaran agama, baik yang bersifat formalistik maupun bersifat substantif. Dalam diksi yang lain, masyarakat Lamakera memiliki pandangan dan juga komitmen bahwa agama dan adat bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Agama dan adat bisa berjalan beriringan bahkan bergandengan tangan mesra penuh romantika bak sepasang kekasih.
Setidaknya poin terakhir itulah yang sering menjadi buah tutur para orang tua, selain fakta-fakta yang eksis dalam kehidupan masyarakat. Di mana tidak ada ceritanya masyarakat Lamakera membatasi ruang aktualisasi nilai-nilai ajaran agama sebagaimana yang diasumsikan oleh CSH. Yang ada malah memberikan ruang bahkan mensupportnya. Karena, lagi-lagi, masyarakat Lamakera bukan cuman beradat, tetapi juga berwatak religius.
Dalam konteks demikian, terjadi titik temu dan ruang perjumpaan dengan hukum Islam. Di mana hukum Islam semenjak dari sononya tidak memandang "sinis" dan anti secara mutlak terhadap konstruksi adat istiadat yang lahir dan eksis di Makkah dan sekitarnya hingga dengan belahan dunia lainnya termasuk di Indonesia tentunya. Hukum Islam hanya agak sedikit selektif dan ketat dengan beberapa muatan adat istiadat. Tentunya adat istiadat yang dipandang bertentangan dengan nalar teologis maupun fikih Islam.