Lihat ke Halaman Asli

Hukum Islam Gadai

Diperbarui: 16 Maret 2019   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Hadist utama]"Dari Anas berkata, Rasulullah SAW telah menggadaikan baju besinya kepada seseorang Yahudi di Madinah lalu mengambil gandum untuk keluarganya dari gadai itu."(HR. Ibnu Majah)

Pada hadist diatas dijelaskan diperbolehkan memintam dengan sistem gadai selama ada seseuatu yang berharga untuk digadaikan.
Terdapat juga hadist yang komprehensif dengan hadist diatas yang artinya:

"Dan dari Aisyah ra., bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedang Nabi SAW menggadaikan sebuah baju besi kepada Yahusi itu. Dan dalam satu lafal: Nabi SAW wafat, sedang baju besinya masih tergadai pada seorang Yahudi dengan tiga puluh sha' gandung."(HR.Bukhari Muslim)(Al-Jami'u Al-Sahihu Muslim,tt,hlm87)

Pada merujuk hadist diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum gadai itu boleh, sebagaimana dikatakan oleh TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa menggadaikan barang boleh hukumnya baik didalam hadlar (kampung) maupun didalam safar (perjalanan). Hukum ini disepakati oleh umum mujtahid.(TM Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, cet.2. 1990, hlm 419.)

Selain dasar hukum hadist juga terdapat dasar hukum Al-Qur'an yang digunakan sebagai dasar membangun konsep gadai pada surah Al-Baqoroh ayat 283 yang berbunyi artinya :

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)msedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagai yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya, yang maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Syeikh Muhammad 'Ali Ash-Sayis dalam buku Zainuddin Ali mengungkapkan bahwa rahn dapat dilakukan ketika dua belah pihak yanga bertransaksi sedang melakukan perjalanan (musafir), dan transaksi yang demikian ini harus dicatat dalam sebuah berita acara (ada orang yang menuliskannya) dan ada orang yang menjadi saksi terhadapnya. 

Bahkan Ali Ash-Sayis menganggap bahwa dengan rahn, prinsip kehati-hatian sebenarnya lebih terjamin dengan bukti tertulis ditambah dengan persaksian seseorang. Sekalipun demikian, penerima gadai (murtahin) juga dibolehkan tidak menerima barang jaminan (marhun) dari pemberi gadai (rahin)  tindakan menghindar dari kewajiban. 

Sebab subtansi dalam peristiwa rahn adalah untuk menghindari kemudharatan yang diakibatkan oleh berkhianatnya salah satu pihak atau kedua belah pihak  ketika keduanya melakukan utang piutang.

Fungsi barang gadai (marhun) pada diatas adalah untuk menjaga kepercayaan masing masing pihak, sehingga penerima gadai (murtahin) meyakini bahwa pemberi gadai (rahin) beri'tikad baik untuk mengembalikan pimjamannya (marhun bih) dengan cara menggadaikan barang atau benda yang dimiliki (marhun), serta tidak melalaikan jangka waktu pengembalian utatangnya itu.

Sekalipun ayat tersebut secara literal mengindikasikan bahwa rahn dilakukan seseorang ketiks dalam keadaan musafir. Hal ini bukan berarti dilarang seseorang melakukan rahn ketika bermukim. Jadi keadaan musafir atau menetap bukanlah suatu persyaratan keabsahan transaksi rahn. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline