Lihat ke Halaman Asli

Menyusuri Sungai Asin Salengrang Maros

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Hari mulai gelap, aktivitas pertanian di dusun Salenrang, Kecamatan Bontao, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan berangsur-angsur berakhir. Suara mesin penggiling beras berhenti dan kerbau sudah masuk kubangannya. Tak lama, ribuan kelilawar berterbangan diatas saya dan teman yang berdiri diatas jembatan besi, menunggu perahu sampan yang akan menghantar kami ke kampung Berua. Barisan rombongan hewan malam ini begitu panjang hingga jejaknya dan arah berpencarnya bisa disaksikan. Hewan itu hilang disekitar kawasan pabrik Semen Bosowa.

Sumber: rombongan Kelelawar (FOTO: Iqbal Lubis)


Perkampungan Berua berada paling ujung kecamatan Salenrang, berbatasan dengan kabupaten Pangkep dan lokasi itu tujuan kami malam ini. Disana sudah ada teman-teman lain menunggu tapi lost contact . Perkiraan saya tempat ini begitu mudah ditemukan ternyata meleset. Kami sempat panik dan binggung sebab tidak ada jalur darat dan hari sudah gelap Untung bertemu Irwan, aktivis pencinta alam Maros, ia menyarankan agar kami menumpangi perahu Sampan, sebab melewati jalur darat cukup rumit ditempuh bagi orang baru seperti saya, apalagi jalur darat penduduk ke kampung Berua memang tidak ada.

”Tidak ada jalur darat disini. Mending naik perahu saja. Cukup dekat jika lewat sungai, ” kata Irwan.

Kami pun menunggu sampan yang hendak kesana. Irwan meninggalkan kami, waktu Magrib sudah lewat dan sudah benar-benar gelap, tidak ada perahu lewat dan suasana mencekam tiba. Daeng Rumpa yang kebetulan lewat melihat kami nongkrong diatas jembatan sambil membakar ranting, ia pun mendekati kami. Setelah ngobrol soal tujuan kami akhirnya dia bersedia mengantar kami, tapi setelah salat Isya.

”Tak apalah pak. Salat dulu lah, ” ucapku pada kakek berusia sekitar 60 tahun itu.

Lepa-lepa atau perahu sampan Daeng Rumpa akhirnya ditarik ke pinggir sungai dalam keremangan dari senter kepala (headlamp) yang kami bawa, sesuai janjinya sekitar pukul 20.00 Wita.

Ia mengantar kami ke dusun yang terletak paling ujung Rammang-rammang. Lengannnya terus mengayun dayungnya dan ia pun terus bercerita dan cukup mengejutkan kami, katanya air dibawah ini adalah air asin, apa lagi itu musim kemarau sungai yang mengelilingi kawasan kart ini diisi air dari laut selat Makassar. Sebab dua ujung sungai ini bermuara di laut.”Kalau musim timur seperti ini air sungai menjadi asin. Karena air ini dari laut.” ujarnya, sembari mengayuh dayungnya didalam gelap. ”Kalau musim hujan airnya juga menjadi tawar, ” sambungnya.

Sekitar 45 menit dari jembatan Rammang-rammang, warga sekitar sebutanya jembatan Besi.

Menyusuri sungai dalam gelap malam itu, tidak begitu banyak pemandangan yang sempat mengenai cahaya senter kepala kami. Hanya barisan pohon nipah yang tumbuh dibibir sungai dan atraksi beberapa ekor ikan sungai atau udang kecil yang lompat ke atas perahu kami.

”Saya sudah biasa menyusuri sungai ini saat malam dan tanpa cahaya senter. Saya manfaatkan cahaya bulan, ” ujar daeng Rumpa. Malam itu kami sampai juga dengan selamat dan penuh ketegangan, sebab ini pengalaman pertama saya naik sampan dalam gelap dan dinahkodai seorang kakek. Akhirnya camp perkemahan teman saya ketemukan, itu setelah berputar-putar dipersawahan.

* * *

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline