Lihat ke Halaman Asli

Miniatur Toleransi Antar Umat Beragama di Sumatera Utara

Diperbarui: 5 September 2020   23:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Keadaan toleransi antar umat beragama di Sumatera Utara sangat baik. Masyarakat  hidup rukun dan tinggal berdampingan walau berbeda agama. Hal ini dikarenakan warga Sumatera Utara sangat menerima perbedaan. Menurut mereka perbedaanlah yang membuat kita satu,”ujar kak Fajar Dalimunthe selaku Koordinator Duta Damai Sumut (2/9/20).

Toleransi antar umat beragama di Provinsi Sumatera Utara sangat terasa ditengah-tengah masyarakat dan patut diancungi jempol. Bagaimana tidak, walau berbeda kepercayaan dan keyakinan, warga Sumatera Utara tetap hidup berdampingan saling hormati. “Bila terjadi perselisihan di tengah masyarakat pasti diselesaikan dengan cara bermusyawarah sambil mencari solusi yang tepat,”sahutnya.

Sebelum masuknya agama Hindu, Islam dan Kristen suku Batak menganut kepercayaan animisme yaitu kepercayaan dengan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang seperti agama Sipele Begu, Parmalim, dan lainnya. Parmalim, kepercayaan leluhur bangsa batak ini menjadi asal muasal agama di suku Batak. Kepercayaan ini tersebar luas sebelum abad ke 6, namun agama ini sekarang masih tersebar di daerah Toba, Sumatera Utara.

Pada abad ke-6 sampai sekitar abad ke 12 dan 13 agama hindu menyebar pesat di Sumatera Utara. Keberadaan agama Hindu ini ditandai dengan adanya candi-candi peninggalan kerajaan Hindu seperti, Candi Bahal di Portibi terletak di Kecamatan Padang Lawas Utara. Pengaruh Hindu pula terlihat pada bahasa Sangsekerta yang banyak diserap menjadi bahasa Batak Angkola-Sipirok. Contonya, argha (bahasa Sangsekerta) yang artinya harga sedangkan dalam bahasa Bataknya adalah arga. 

Kedatangan agama Islam di Indonesia pertama kali menyebar di Kota Barus. Menyebar ke Sumatera Utara diperkirakan  sekitar abad ke 19 yang disebarkan dari oleh pasukan Paderi dari Minangkabau. Mengutip dari Soetan Pangoerabaan, Sastrawan, di bukunya yang bejudul Sipirok Pardomoen menjelaskan, pengembangan ajaran agama Islam dilakukan laskar Paderi yang datang menyerbu dari Bonjol. Oleh karenanya masyarakat menyebut agama yang baru mereka anut Silom Bonjol (Islam Bonjol).

Mengambil kutipan dari Rusman Siregar di Sindonews.com, diketahui penyebaran agama Islam terjadi pada tahun 1816 yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai yang mengiblatkan seluruh wilayah Tapanuli Selatan tepatnya daerah Mandailing dan Angkola. Kerajaan Aceh turut membantu menyebarkan agama Islam di daerah Karo dan Pakpak. 

Sementara daerah Simalungun disebarkan oleh warga melayu di pesisir Sumatera Timur.  Masuknya agama Islam mewarnai masyarakat Batak dan norma-norma yang tidak seiring dengan Islam seperti khurafat, tahayyul, pemujaan terhadap Tor Batara Wisnu diberantas karena dianggap mempersekutukan Tuhan (syirik).

Perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1821 penyebaran agama Islam di Sumatera Utara menurun. Hal ini karena pasukan Belanda menyerang Sumatera Barat (Paderi), akibatnya sebagian besar laskar Paderi yang menyebarkan agama Islam di Sumatera Utara, tepatnya di Tapanuli Selatan ditarik untuk membantu melawan penjajah. Pada tahun 1837 Paderi kalah dan Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Manado. Walau begitu penyebaran agama Islam masih berkembang di Sumatera Utara, terutama daerah-daerah di Tapanuli Selatan yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat.

Masuknya penjajah Belanda bukan hanya untuk ekspansi, eksploitasi dan eksplorasi di Sumatera Utara, namun juga untuk menyebarkan dan mengembangkan ajaran agama Kristen. Penyebaran agama Kristren ini dimulai dari daerah Toba. Para penjajah dengan gencar membangun sekolah berbasiskan ajaran agama Kristen dan menyebarkan guru-guru agama Kristen di kalangan penduduk agar agama Kristen berada ditengah masyarakat. Hingga akhirnya, agama Kristen berkembang pesat di daerah Tapanuli bagian Utara.

Ajaran agama Islam dan agama Kristen menyebar luas, hingga menjadikan masyarakat Sumatera Utara memilih kepercayaan salah satu di antara keduanya. Namun, hal ini tidak membuat mereka saling mambenci, berkelahi dan menimbulkan perpecahan. Justru, masyarakat Sumatera Utara hidup rukun, saling menghargai, dan saling menghormati. 

Kesadaran bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki ikatan darah (persaudaraan), pergaulan antar sesama dan adat istiadat yang sangat kuat di antara bangsa Bataklah yang menyebabkan mereka selalu menjunjung tinggi persatuan. Bila terjadi perselisihan antar agama, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tetua adat berperan penting dalam hal ini. Mereka berperan penting untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara mendudukkan oknum yang berselisih lalu mencari solusi dan jalan keluar bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline