Dengan dasar bahwa budaya membaca berbanding lurus dengan tingkatan kemajuan pembelajaran suatu bangsa. Kenyataan yang cukup miris diketahui bahwa tercatat pada data "World's Most Literate Nations Ranked" tahun 2016, literasi Indonesia menempatkan posisi ke-60, dari 61 negara, dalam hal minat membaca. Kondisi ini tentunya menuntut perhatian serius sebagai salah satu poin penting kebutuhan pembelajaran.
Rendahnya minat membaca orang Indonesia ini menunjukan minimnya budaya baca itu sendiri dalam masyarakat. Membaca bagi masyarakat indonesia belum menjadikan prioritas sebagai sumber untuk mendapatkan informasi dan pembelajaran.
Hal ini pun sesuai adanya dengan hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun yang sama, melihat perbandingan besar minat penduduk terhadap aktivitas antara menonton dan membaca kepada penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Hasilnya sungguh mengejutkan. Sebesar 90,27% penduduk menyukai menonton dan hanya 18,94% yang menyenangi aktivitas membaca surat kabar atau majalah.
Bahkan menurut data dalam United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 2015 menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia 1000 berbanding 21. Artinya dari 1000 orang Indonesia hanya 21 orang yang rutin membaca buku.
Satu hal yang pasti, menyadari betapa rendahnya tingkat minat baca masyarakat Indonesia, turut menjadi perhatian terkait kualitas pendidikan, sehingga hal ini memicu keprihatinan pemerintah untuk kemudian mewujudkan kebijakan yang berupaya mendorong aktivitas literasi dan meningkatkan budaya membaca.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal ditenggarai sebagai salah satu yang bertanggung jawab mewujudkan budaya baca guna meningkatkan literasi masyarakat. Melalui lembaga pendidikan, pemerintah meluncurkan program GLS melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Lebih jauh, Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti secara khusus menyebutkan bahwa sekolah hendaknya memfasilitasi secara optimal agar siswa bisa menemukenali dan mengembangkan potensinya. Lewat program pembiasaan melalui kegiatan di sekolah mewajibkan setiap siswa membaca 15-20 menit, siswa juga di stimulasi untuk bisa memberikan tanggapan atas bacaannya, dan mengimplikasikan hasil baca buku pengayaan sebagai refrensi tumbuh kembang ilmu pengetahuan dalam kegiatan pembelajaran. Tahapan-tahapan ini yang teregulasi dalam program untuk menumbuhkan kebudayaan literasi tersebut.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) menjadi usaha praktik pendidikan untuk mewujudkan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang mendukung warga sekolah sebagai pembelajar sepanjang hayat dengan terampil membaca. Program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini membangun konsensus tentang penciptaan lingkungan literat bagi pesetra didik. Kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidik bertugas untuk saling bersinergi mencetak generasi literat masa depan.
Hal ini sejalan dengan fungsionalisme pendidikan itu sendiri. Mengingat bahwa sekolah memiliki fungsinya sebagai lembaga edukatif. Analisis Robert K. Merton tentang hubungan selang kebudayaan, struktur, dan anomi. Kebudayaan dirumuskan kepada rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama kepada seluruh anggota warga. Stuktur sosial didefinisikan sebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan mempengaruhi anggota warga atau golongan tertentu dengan metode lain. Dalam hal ini lembaga pendidikan sekolah terkait metode penanaman budaya membaca.
Pada struktur sosial sekolah, seluruh warga sekolah memaksimalkan untuk menata sarana dan menciptakan suasana lingkungan yang literat. Membangun budaya membaca dan lingkungan literat di sekolah dapat dioptimalkan melalui hubungan yang kolaboratif-bersinergi antara sekolah, siswa, dan bahan bacaan.
Mulai dari menciptakan kontrol, berupa kebijakan dan aturan terkait konsep pelaksanaa Gerakan Literasi Sekolah (GLS), mengoptimalkan fungsi perpustakaan sekolah dengan menghadirkan beragam bahan bacaan. Selain itu membuka interaksi pada tiap aktor pendidikan, guru juga tenaga pendidik dengan siswa yang ikut serta melakukan refleksi berupa resensi sederhana tentang isi buku yang telah dibaca, hal ini ikut serta menumbuhkan diskusi dan daya kritis terutama pada siswa.