Lihat ke Halaman Asli

Berbaik Sangka Kepada Allah

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_107763" align="alignleft" width="180" caption="Radio Nederland Wereldomroep"][/caption]

Seseorang yang berdo’a kepada Allah swt agar di beri kekayaan, tetapi selalu saja kemiskinan tidak beranjak dari kehidupannya. Bisa jadi, dengan kekayaan yang dia peroleh akan menyebabkan dirinya sibuk mengurus kekayaannya, menjadi pelit karena takut miskin dan lalai beribadah kepada Allah swt. Inilah bentuk kasih sayang Allah swt kepada dirinya, dengan kemiskinan membuat dirinya selalu dekat dengan Allah swt. Sehingga pemberian nikmat dari Allah swt tidak hanya berupa harta yang berlimpah, dijauhkan dari harta yang dapat menghancurkan kehidupannya juga nikmat dari Allah swt.

Seorang yang mengalami cacat tubuh apakah dianggap sebagai keburukan?, dengan cacatnya itu manusia lain bisa mensyukuri nikmat Allah swt atas kelengkapan anggota tubuhnya. Kemudian dengan adanya orang cacat, Allah swt ingin menunjukkan bahwa setiap anggota tubuh tidak bekerja sesuai dengan keinginan manusia karena ada yang punya bola mata tetapi tidak mampu melihat atau ada orang yang punya kaki tetapi tidak mampu berjalan. Artinya, mempunyai mata atau kaki bukan sebagai alasan seseorang bisa melihat atau berjalan, tetapi qudratullah (kekuasaan Allah swt) yang membuat seseorang bisa melihat atau berjalan. Bahkan orang cacat mempunyai kemampuan lebih hebat daripada orang normal. Lihat 1 hal 109

Seseorang yang mengalami sakit maka dengan sakitnya Allah swt memberi jalan kepada dirinya untuk dekat kepada-Nya, menggugurkan dosa-dosanya dan mengingatkan dirinya akan kematian.

Kita kadang-kadang berburuk sangka kepada Allah swt, menggerutu ketika memperoleh musibah: “Apakah Allah swt tidak sayang sama saya?” Atau  menjadi ngambek karena do’a yang dipanjatkan tidak jua dikabulkan oleh Allah swt: “Katanya Allah swt Maha Mendengar, kok do’a saya belum juga dikabulkan”

Pada dasarnya kita tidak tahu hikmah atas semua peristiwa baik atau buruk yang menimpa kita; musibah yang menimpa, do’a yang tidak dikabulkan, kemiskinan atau harta yang berlimpah. Pasti aa tujuan Allah swt atas suatu peristiwa yang menimpa manusia, mungkin suatu saat ketika manusia tahu hikmah di balik peristiwa itu maka dia akan berterima kasih kepada Allah swt.  Harus diyakini bahwa Allah swt pasti bertujuan baik, tidak mungkin Allah swt berbuat dzalim atas makhluknya, tetapi manusia sendiri yang berbuat dzalim atas dirinya.

Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri (Yunus 44).

Sebagai contoh kedzaliman manusia adalah tidak diaplikasikannya hukum-hukum Allah swt dalam mengatur kehidupannya dalam berbagai bidang. Kelaparan misalnya, seharusnya tidak terjadi karena Allah swt telah memenuhi kebutuhan makanan manusia di dunia mulai dari Nabi Adam as hingga hari kiamat nanti. 

Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya (Fushilat 10).

Terjadinya kelaparan karena buruknya sistem distribusi pangan, Allah swt menciptakan bumi ini bukan untuk bangsa tertentu tetapi untuk seluruh umat manusia. Ketika negara-negara Afrika mengalami kelaparan, sementara negara-negara lain membuang produksi pangannya untuk menjaga harga tetap tinggi, atau tidak menanam pangan tertentu untuk menjaga stabilitas harga. Lihat 1, hal 96

Meskipun musibah yang menimpa terasa berat, pasti manusia masih mampu menerimanya karena Allah swt tidak akan membebani seseorang melebihi kemampuannya. Laa yukallifullaahu nafsan illa wus’ahaa. Seharusnya sebagai seorang mukmin yang harus dilakukan adalah bersabar ketika tertimpa musibah dan bersyukur ketika memperoleh kenikmatan.

Wallahua’lam

Maraji’:

1.  Tafsir Ibnu Katsir

2.  Parameter kebaikan dan keburukan, Muhammad Muatawalli Sya’rawi, Pena Pundi Aksara, cetakan I, Maret 2005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline