Lihat ke Halaman Asli

Backpacking Lombok (1): Ada Apa di Lombok Nanti?

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1361878057993130219

Bagi sebagian mahasiswa menjelang tingkat akhir, selain memenuhi kewajiban akademik, KKN juga bisa menjadi kesempatan untuk ”jalan-jalan” murah, bahkan gratis. Demikian pula kami, sekelompok mahasiswa yang akan menjalani kewajiban KKN pada libur semester depan. Nicko Rizqi Azhari Kelompok sudah terbentuk, rancangan program sudah digagas. Namun, kami perlu melakukan survei lapangan sebelum proposal program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang kami susun kami ajukan ke Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) kampus. Survei itu penting untuk melihat kesesuaian antara kondisi di lapangan dengan rancangan program yang kami ajukan. Dari sekitar 20 mahasiswa dari berbagai jurusan dan fakultas, berangkatlah kami berempat untuk melakukan survei lapangan di bakal lokasi program KKN kami di Kecamatan Senaru, Kabupaten Lombok Utara, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dengan anggaran terbatas, diputuskan pula kami akan berangkat secara gembel (backpacking).

Kami berangkat ke Lombok secara estafet, yakni berganti-ganti moda transportasi. Sebelumnya, di antara kami berempat, belum pernah ada yang pernah pergi ke Lombok. Saya sendiri pergi ke timur paling mentok hanya sampai Bali. Informasi tentang Lombok, peta jalan, dan lain-lainnya kami kumpulkan hanya dari internet. Dengan modal catatan-catatan kecil, perjalanan kami dimulai dari Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta dengan naik kereta api Sri Tanjung jurusan akhir Stasiun Banyuwangi Baru/Ketapang. Saya sendiri berangkat dari rumah, sehingga saya menyusul ketiga teman saya yang berangkat dari Yogya, di Stasiun Purwosari, Solo.

[caption id="attachment_229440" align="aligncenter" width="492" caption="Kereta api Sri Tanjung di Stasiun Srowot, Klaten. (Foto: Penulis)"][/caption] Pagi itu saya jalani dengan santai. Mandi, dandan, sarapan, dan berbagai ritual pagi lain saya jalani seperti biasa. Tas ransel yang saya tata malam sebelumnya pun sudah rapi. Selanjutnya, tinggal menuju stasiun, dengan kendaraan umum. Ah, tapi saya lupa kalau saat itu Minggu pagi, saat di mana angkutan umum sepi penumpang. Bus pun berjalan seperti suasana pagi saya tadi, santai. Di dalam bus, saya menjadi gundah karena saya tidak memperhitungkan toleransi waktu keterlambatan sebelumnya. Doa saya waktu itu di dalam bus: Queen Latifah tiba-tiba membajak bus yang saya tumpangi sampai stasiun, atau  kereta api datang terlambat. Apesnya, ketika saya sampai stasiun, jam menunjukkan tepat jam keberangkatan kereta saya. Syukurlah masih ada harapan, kereta saya masih ada di peron. Saya  pun segera berlari mengejarnya. Tetapi, ketika saya baru sampai depan pintu peron, jessssss… kereta yang saya tumpangi berjalan. Saya pun langsung lemas.

Ah, tapi saya tidak menyerah begitu saja. Demi Lombok, kejar kereta! Saya pun segera berlari menuju pangkalan ojek yang berada di depan stasiun. Untuk diketahui, di Solo terdapat dua stasiun kereta api ekonomi (tidak termasuk Stasiun Solo Kota), yaitu Stasiun Purwosari di Barat, dan Stasiun Solojèbrès di Timur. Entah kenapa saya tiba-tiba mendapat ide ini. Ya, saya akan mencegat kereta itu di stasiun berikutnya. Dari Stasiun Purwosari, Stasiun Solojèbrès berjarak lebih kurang 5 Km. Kemungkinan keberhasilannya memang kecil, mengingat sistem rekayasa jalan di perkotaan membuat jarak 5 Km menjadi lebih jauh karena harus memutar-mutar jalan. Tapi, tak ada salahnya mencoba. Dengan negoisasi super kilat yang tidak berhasil dengan tukang ojek, saya mendapat harga yang tidak pantas untuk jarak 5 Km (baca: mahal sekali). Wuooo…

Setelah di antara tukang ojek berdiskusi siapa yang akan mengantar saya, ihik, lagi-lagi saya kurang beruntung mendapat tukang ojek berusia lanjut dengan motor yang juga tua. Ketika mulai melaju, yak, Jalan Slamet Riyadi sebagai jalan utama dan tercepat menuju stasiun berikutnya, ditutup untuk car free day. Oh, Minggu pagi! Mau tak mau, kami (saya, tukang ojek, dan motornya) harus mengambil jalan lain untuk mencapai Stasiun Solojèbrès dengan cepat. Memutar cukup jauh, tentu saja. Ah, lagi-lagi faktor ”u” si tukang ojek dan kendaraannya membuat saya semakin gusar. Berkali-kali saya menepuk punggung dan berteriak-teriak panik ke si tukang ojek. Ingin rasanya saya yang mengambil alih motornya saja, sementara si tukang ojek yang membonceng saya. Saya jadi gemes. Arghhh… kenapa, kenapa?

Stasiun Solojèbrès, +97 m. Bahagia hati saya rasanya begitu tahu kereta api Sri Tanjung masih menunggu saya di peron. Dengan tidak lupa membayar jasa ojek yang sudah saya ”siksa” dengan teriakan-teriakan gundah dan aneka gerakan belingsat panik saya, saya segera berlari menuju peron stasiun. Seketika saya bagai mengalami de javu. Ketika saya baru sampai depan pintu peron, jessssss… kereta yang saya tumpangi berjalan. Saya pun langsung lemas (lagi). Mau mengejar kereta ini lagi? Ah, yang benar saja! Pemberhentian Sri Tanjung berikutnya adalah Stasiun Sragen, sekitar 30 Km dari Solojèbrès.

Saya pun segera menuju halte dengan lesu, memutuskan untuk kembali ke rumah. Saya pun membayangkan ketiga teman saya yang besok siang sudah akan berada di Lombok. Saya jadi membayangkan apa yang akan mereka lakukan di Lombok nanti, tempat-tempat mana yang akan mereka kunjungi, akan seperti apa Lombok nanti. Ah, sebal!

Ponsel saya terus berdering. Rupanya ketiga teman saya yang sudah berada di kereta terus menanyakan saya, “Kamu ada di kereta nomor berapa? Kami duduk di kereta nomor ini, deret ini. Buruan ke sini!”

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline