Lihat ke Halaman Asli

Kompas TV dan Implementasi Sistem Siaran (Televisi) Berjaringan di Indonesia

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_129211" align="aligncenter" width="300" caption="Kompas TV bersiaran melalui kerja sama dengan televisi lokal anggota jaringan."][/caption]

Jumat (9/9) malam kemarin, sebuah jaringan televisi baru, Kompas TV, secara resmi diluncurkan. Pada saat peluncuran, jaringan televisi yang dimiliki Kompas Gramedia itu memiliki sembilan televisi lokal anggota jaringan. Namun, belum sempat diluncurkan, Ketua KPI Pusat Dadang Rahmat Hidayat mengeluarkan pernyataan publik terhadap Kompas TV tertanggal 7 September, yang dirilis di situs KPI pada 9 September pagi. Secara garis besar, pernyataan publik itu mempersoalkan legalitas Kompas TV sebagai lembaga penyiaran, khususnya mengenai izin siaran.

Seperti diketahui, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sejak 28 Desember 2007, seharusnya tidak ada lagi istilah ”televisi nasional” yang bersiaran secara nasional dengan stasiun-stasiun relai di daerah. UU Penyiaran tahun 2002 mengamanatkan model sistem siaran berjaringan sebagai ganti model sistem siaran nasional. Dalam sistem siaran berjaringan, ”televisi nasional” yang menyelenggarakan siaran nasional harus melepaskan stasiun relainya di daerah dengan porsi relai siaran nasional paling banyak 90 persen dari seluruh waktu siaran per hari. Peraturan ini dimaksudkan untuk mewujudkan keberagaman kepemilikan dan keberagaman konten, serta mendorong demokratisasi dan desentralisasi di bidang penyiaran.

Model semacam itulah yang kini sedang dikembangkan oleh Kompas TV sebagai ”lembaga penyiaran” nasional yang paling baru. Dalam banyakpernyataan pers dan di media promosinya–sebelum kemudian di-”revisi”, Kompas TV menempatkan diri sebagai induk jaringandengan sejumlah televisi lokal di daerah sebagai anggota jaringannya. Kompas TV sebagai induk jaringan hanya berperan sebagai penyedia konten siaran nasional, dengan izin penggunaan kanal frekuensi tetap dipegang oleh lembaga penyiaran lokal anggota jaringan. Pada tahap awal, porsi siaran dibagi 70 persen siaran nasional dan 30 persen siaran lokal, dan akan dikembangkan secara bertahap menjadi masing-masing 50 persen. Model jaringan seperti inilah yang sebenarnya diinginkan oleh UU Penyiaran, model sistem penyiaran nasional yang lebih kurang serupa dengan yang dikembangkan di Amerika Serikat.

Sesungguhnya hal yang dipermasalahkan oleh Ketua KPI terhadap Kompas TV tersebut hanya terkait teknis pelaksanaan penyiaran, khususnya pada PP No. 50 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Maka, tidak salah bila Ketua KPI ”mengingatkan” Kompas TV. Yang membuatnya menjadi aneh adalah ketika Kompas TV kemudian mengelak dengan menyebut diri sebagai content provider untuk menghindari implementasi PP Penyiaran. Jelas bahwa Kompas TV sesungguhnya merupakan televisi berjaringan, bukan sekadar content provider, karena siarannya direlai secara nasional oleh televisi-televisi lokal anggota jaringan. Kompas TV pun memiliki badan hukum sendiri, yakni PT Gramedia Media Nusantara. Meskipun sebenarnya Kompas TV sudah berupaya akomodatif terhadap amanat UU Penyiaran dengan menerapkan sistem jaringan, Kompas TV masih perlu menyesuaikan aturan-aturan PP Penyiaran, khususnya mengenai perizinan.

Ketimpangan

Terlepas dari upaya KPI untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan penyiaran secara konsisten, dalam masalah ini terlihat adanya ketimpangan dan ketidakadilan perlakuan KPI terhadap para pelaku industri penyiaran. Memang, masalah-masalah seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru mengingat peraturan perundangan yang mengatur penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, termasuk peraturan sistem penyiaran berjaringan, hingga saat ini masih abu-abu. Masih banyak peraturan yang tumpang-tindih dan belum jelas, ditambah lagi dengan belum adanya sanksi yang tegas bagi pelanggarnya. Namun, pernyataan publik yang dikeluarkan oleh Ketua KPI itu menarik karena seolah semakin memperjelas keberpihakan KPI terhadap pelaku industri penyiaran tertentu.

Di satu sisi, Kompas TV merupakan ”lembaga penyiaran” pertama yang menurut saya telah berusaha akomodatif terhadap peraturan, dengan menciptakan model jaringan televisi sesuai amanat UU Penyiaran. Namun, justru Kompas TV yang mendapat ”teguran” dari Ketua KPI. Di sisi lain, masih banyak ”televisi nasional” dan jaringan televisi lain yang sebenarnya belum atau tidak sama sekali melaksanakan sistem siaran berjaringan seperti yang diamanatkan oleh UU Penyiaran. Lembaga-lembaga penyiaran seperti ini justru mendapatkan pembiaran (baca: kebebasan) untuk bersiaran secara nasional.

Hingga saat ini, terdapat sepuluh lembaga penyiaran ”nasional” yang masih bersiaran secara nasional dengan stasiun-stasiun relainya di daerah yang belum dilepas ke publik di daerah. Sepuluh lembaga penyiaran ini pula lah yang ”terbebas” dari dua kali tenggat waktu pelaksanaan serta penundaan pelaksanaan sistem siaran berjaringan. Tanggal 28 Desember 2009 seharusnya menjadi batas akhir bagi pelaksanaan siaran berjaringan bagi sepuluh lembaga penyiaran ”nasional”. Namun, melalui Siaran Pers No. 201/PIH/KOMINFO/10/2009, pemerintah kembali menunda implementasi sistem siaran berjaringan, kali ini hingga tenggat waktu yang tidak ditentukan, seolah memberi pilihan bagi industri penyiaran di Jakarta untuk mendirikan stasiun jaringan di daerah atau tidak.

Kini, ketika sepuluh lembaga penyiaran ”nasional” itu masih diberi kebebasan untuk bersiaran leluasa secara nasional dan tidak melepaskan kepemilikannya atas stasiun relai di daerahnya–mengabaikan amanat undang-undang, kehadiran sebuah ”lembaga penyiaran” baru yang mengusung semangat keberagaman, desentralisasi, dan demokratisasi sesuai dengan semangat UU Penyiaran disorot legalitasnya oleh KPI. Ini baru masalah peraturan sistem siaran berjaringan. Belum lagi kalau kita sudah mulai menyinggung mengenai masalah kepemilikan lembaga penyiaran yang kini semakin mengarah pada konglomerasi. Terhadap lembaga-lembaga penyiaran yang ”bandel” seperti itu pun, KPI juga diam. Lantas, mana yang benar, mana yang salah, dan mana yang berpihak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline