[caption caption="Ilustrasi: ©Shutterstock.com"][/caption]Saya tidak tahu, apakah sebenarnya saya bisa menulis (membangun teks) dengan baik atau tidak. Oleh karena itu pula, saya juga tidak tahu apakah teks yang saya bangun mampu menyuguhkan bacaan yang bergizi bagi pembaca apa tidak. Demikian pula saya juga tidak tahu, selain bergizi atau tidak, apakah teks yang saya bangun cukup renyah dikunyah (baca:mudah dipahami ) oleh pembaca atau tidak.
Setidaknya begitulah saya mengukur sebuah tulisan atau teks bisa dikatakan baik (baca:cerdas ) atau tidak, dengan melihat kandungan gizi dan kerenyahannya. Teks yang bergizi berarti memberikan sejumlah pengetahuan atau informasi yang mampu mencerdaskan pembacanya. Inilah yang dalam bahasa lain disebut makna sebuah teks.
Selain kaya akan gizi, teks yang baik menurut saya juga harus renyah dikunyah, tidak alot. Artinya mudah dipahami oleh pembaca, karena disajikan dengan gaya tulisan yang ringan namun tetap hidup. Bukan dengan bahasa yang mbulet dan memusingkan. Tulisan yang hidup yaitu tulisan yang tidak sekadar berupa susunan kata, akan tetapi tulisan mampu berdialog dengan pembacanya. Meskipun tidak bicara, akan tetapi seolah-olah pembaca diajak berdialog dengan teks yang dibacanya.
Terlepas dari apakah saya bisa menyuguhkan menu tulisan yang bergizi dan renyah serta hidup apa tidak, saya akan terus menulis, meski hanya menghasilkan sampah. Karena saya meyakini bahwa menulis adalah sebuah proses discovering ability. Sebuah proses pencarian kemampuan yang ada dalam diri saya. Dari sinilah saya akan belajar memberdayakan diri saya untuk bisa menuangkan gagasan dan ide-ide.
Dengan jalan menulis ini saya juga bisa menemukan kemampuan saya untuk berpikir kritis terhadap berbagai persoalan yang sedang saya hadapi.
Dan yang paling penting, dengan jalan menulis ini saya bisa menemukan hakikat diri saya yang paling dalam. Intinya, melalui menulis saya akan terus menggali kemampuan saya dalam berbagai hal. Namanya juga mencari, tentu saya tidak akan berhenti sebelum kemampuan (ability) yang ada dalam diri saya benar-benar telah saya temukan. Bahkan, barangkali kegiatan menulis ini akan terus berlanjut, karena sudah menjadi kebiasaan, sekalipun ability yang saya cari tadi telah berhasil ditemukan.
Inilah barangkali yang sesungguhnya dimaksud oleh banyak pakar pendidikan sebagai long life education. Belajar sepanjang hayat. Ya menulis saya maknai sebagai proses pembelajaran dalam sekolah kehidupan saya. Discovering ability, kata-kata ini dengan senang hati saya temukan dalam tulisan yang sangat bergizi. Adalah Munif Chatib, yang telah menulis kata penuh makna tersebut. Dalam bukunya, sekolahnya manusia, sesungguhnya munif chatib mengajukan konsep discovering ability tersebut dalam ranah pembelajaran.
Karena beliau memang pakar pembelajaran. Tepatnya pembelajaran yang menawarkan sistem baru yang disebut sebagai multiple intelligence. Sebuah model pembelajaran yang memandang bahwa semua peserta didik memiliki potensi kecerdasan yang beragam. Sehingga tidak bisa mengukur kecerdasan seseorang hanya diukur dengan satu variabel saja, kecerdasan kognitif, sebagaimana yang saat ini banyak dilakukan dalam pembelajaran konvensional.
Dalam konsep tersebut, pembelajaran dikatakan sebagai proses discovering ability. Istilah ini kemudian saya ikat ke dalam konsep menulis yang saya suguhkan ini. Sekalipun tidak sama persis, antara belajar dan menulis, namun saya menemukan prinsip-prinsip yang sama diantara keduanya. Yaitu sama sama menggunakan basic ability manusia, yakni berpikir. Belajar menggunakan akal, menulis pun sama. Bahkan menurut saya menulis jauh melampaui proses belajar.
Kalau belajar diawali dengan proses membaca sebagai upaya memasukkan pengetahuan dari luar ke dalam otak, kemudian menyimpannya rapat-rapat di dalam otak. Menulispun sama, diawali dari membaca sebagai proses memasukkan pengetahuan berupa informasi dan ide-ide segar dari luar ke dalam otak. Setelah itu tidak hanya disimpan di dalam otak saja, namun ada proses lanjutan yaitu menuangkannya kembali menjadi bahasa tulis sehingga lahirlah tulisan atau teks.
Atas dasar ini kemudian saya menarik kesimpulan bahwa menulis juga merupakan proses pencarian kemampuan, sama hal dengan belajar. Barangkali, pada awalnya teks yang saya bangun memang tidak bergizi dan alot untuk dikunyah. Namun saya yakin, diantara sekian teks yang saya buat, tentu ada beberapa diantaranya yang bisa mencerdaskan dan juga renyah dikunyah oleh orang yang membacanya.