Lihat ke Halaman Asli

Cara Putriku Mengenang Tsunami

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh Setelah di Terjang Tsunami

Tulisan ini mencoba menyorot peristiwa bencana gempa bumi dan gelombang tsunami dari perspektif anak. Kisah tersebut di kemas dalam sebuah puisi yang ditulis oleh putri sulungku. Sebelumnya aku ingin mendeskripsikan selayang pandang tragedi yang terjadi 7 tahun silam. Tulisan ini diakhiri dengan persembahan sebuah puisi yang bertajuk Ketika Bumi Aceh Berduka.

Hari ini 26 Desember 2011 merupakan peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Aceh. Betapa tidak, tujuh tahun lalu gempa bumi dan gelombang tsunami telah terjadi bumi Serambi Mekah. Dalam hitungan menit, gelombang air laut berwarna hitam itu menerjang daratan. Harta benda dan jiwa manusia musnah ditelan dasyatnya gelombangtsunami.

Minggu, 26 Desember 2004,saya dan keluarga semuanya berada di rumah. Maklum, hari libur anak-anak tidak sekolah. Saya dan istri pun tidak bekerja. Hari itu, kami pun tidak ada rencana kemana-mana. Biasanya, setiap hari minggu saya mengajak anak-anak pergi ke laut. Tapi, hari itu saya ada janji dengan teman di kampus sehingga rencana ke laut terpaksa saya batalkan. Anak-anak pun tidak ada yang protes.

Pukul 7:30 kami selesai sarapan. Istri masih di dapur. Anak-anak sedang menonton televisi. Saya sendiri di kamar mandi. Dua puluh lima menit kemudian, (masih di kamar mandi) saya merasakan ada goncangan. Gempa, gumam saya dalam hati. Saya keluar (masih mengenakan handuk, tanpa baju) dan meminta seluruh anggota keluarga keluar.

Di halaman rumah kami berkumpul. Saya menggendong anak bungsu yang laki-laki. Sementara, istri saya mendekap anak sulung yang perempuan. Goncangan semakin kuat. Kami berpegangan tangan. Istri saya bilang “bang kiamat”. Pohon kayu bergoyang kencang dan bangunan lantai dua rumah tetangga saya bergerak ke kiri dan ke kanan. Tanah seakan terbuka. Berdiri pun susah. Laungan suara Azan (panggilan shalat) terdengar dari mulut tetangga sebelah rumah saya. Berbagai bacaan Asma Allah keluar dari mulut saya, istri maupun warga sekitar. Hanya satu harapan kami gempa berhenti.

Lima menit kemudian bumi berhenti bergoyang. Belum pernah saya merasakan gempa sekuat ini. Kami kembali masuk ke dalam rumah dengan perasaan cukup was-was serta seribu satu pertanyaan dalam hati. Saya mengenakan pakaian (sewaktu gempa tidak pakai baju, hanya mengenakan handuk) dan bersiap ke kampus karena ada janji dengan teman. Di kampus, saya dan beberapa teman memutuskan membatalkan rencana pertemuan mengingat kondisi gempa yang baru terjadi. Ketika kami berdiri di halaman kampus, seorang pengendara sepeda motor memacu kenderaan yang kecepatan tinggi berlalu di hadapan kami sambil berteriak “ air laut naik”, “air laut naik”, “air laut naik” berulang kali. Ketika itu saya berfikir bagaimana mungkin air laut naik ke daratan.

Tanpa berfikir panjang, dengan wajah pucat pasi, saya memutuskan kembali ke rumah (jarak rumah saya dengan kampus hanya 1 kilometer). Menjelang tiba di rumah, dari arah berlawan saya melihat orang-orang berlarian dalam suasana panik. Saya melihat ada yang mengendong anak-anak dan ada yang memapah orang tua. Mereka menjinjing bungkusan-bungkusan kecil. Wajah-wajah mereka begitu cemas dan ketakutan. Semua menuju Mesjid yang terletak di Kampus Universitas Syiah Kuala, Darussalam hanya terpaut 500 meter dari rumah saya.

Di rumah, saya memberitahu istri bahwa orang-orang sudah mengungsi ke Mesjid. Rumah kami tinggalkan. Di mesjid kami berkumpul dengan ratusan orang yang kemudian saya ketahui mereka tinggal dekat dengan laut. Di dalam mesjid, imam memimpin doa dan zikir serta menenangkan warga. Sementara dari luar, saya mendengar suara gemuruh air sangat kuat (seperti suara pesawat boing). Suara itu kuat sekali. Suara gemuruh itu berasal dari laut yang hanya berselang beberapa kampung dari tempat tinggal kami. Kemudian saya ketahui, itu suara air laut (tsunami) yang naik ke darat menyapu apa saja yang ada didepannya. Subhanallah!.

Satu jam kemudian. Kami turun dari lantai dua mesjid untuk kembali ke rumah. Di depan mesjid ada sebuah bangunan lama (bekas kantor PDAM). Disitulah mayat-mayat masyarakat dari desa tetangga kami di letakkan. Hari-hari berikutnya, gempa-gempa kecil terus mewarnai. Mayat-mayat tergeletak dimana-mana. Suasana gelap gulita di waktu malam. Suara pesawat terbang memecah kesunyian malam. Sejak itu, bantuan terus berdatangan dari seluruh penjuru dunia.

Memasuki hari kelima, suasana semakin tidak menentu. Listrik padam. Sembako sukar di dapat. Demikian juga dengan bensin. Parahnya lagi, sambungan telepon tidak berfungsi. Banda Aceh seperti kota mati.Hari kelima setelah peristiwa tsunami, salah satu anggota keluarga kami datang dari Lhokseumawe, Aceh Utara (sekitar 5 jam perjalanan darat). Dia meminta kami mengungsi ke rumahnya di Lhokseumawe. Memang ketika itu, beredar isu mayat-mayat yang belum dikuburkan dan menyebarkan bau sangat busuk berpotensi terjangkitnya berbagai penyakit. Saya setuju. Kami pun berangkat mengungsi.

Ternyata salah satu anak kami mengamati dan merasakan peristiwa gempa dan tsunami tersebut. Hari-hari semenjak terjadinya gempa dan disusul dengan gelombang tsunami, telah memberikan catatan tersendiri di hati anak saya yang pertama. Dia baru berusia 7 tahun ketika itu. Dia (Thifal Azhar), ikut merasakan bagaimana hari-hari harus dilewati dengan berbagai kecemasan. Apalagi hari-hari setelah tsunami, gempa susulan terus terjadi. Tidak jarang sedang berada dalam rumah tiba-tiba harus berhamburan keluar. Dari peristiwa itu, dia juga masih ingat sejumlah teman-teman sekolahnya di Taman Kanak-Kanak (TK) hilang di telan tsunami. Begitu juga dengan sanak saudara kami yang pernah dikenalinya juga hilang dalam peristiwa yang merenggut ratusan ribu jiwa itu.

Kini, usianya sudah 14 tahun. Satu hari minggu yang lalu, saya minta Thifal menulis sebuah puisi untuk mengenang peristiwa tsunami. Saya tahu anak saya memang punya kegemaran menulis puisi dan membuat cerita pendek (cerpen). Sebenarnya, selain untuk menyalurkan hobbinya, saya juga ingin mengetahui pengetahuan anak saya tentang peristiwa tsunami. Belajar dari pengalaman, ternyata peristiwa tsunami pernah terjadi di Aceh ratusan tahun silam. Namun, tidak pernah diceritakan maupun ditulis sebagai bahan pembelajaran kepada generasi selanjutnya.

Berikut puisi yang ditulis oleh putriku Thifal Azhar

Peristiwa Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami 2004 terjadi ketika saya masih berusia 7 tahun. Saya masih ingat kejadian itu walaupun tempat tinggal kami tidak terkena tsunami. Tapi, saya bersama keluarga sempat mengungsi ke sebuah Mesjid dekat rumah. Banyak sanak saudara dan teman-teman yang jadi korban. Untuk mengenang peristiwa yang memilukan itu, saya ingin persembahkan sebuah puisi.

Ketika Bumi Aceh Berduka

Pagi itu, 26 Desember 2004

bumi sedang bersahabat dengan alam

mentari biru membentang dengan cerahnya

pecahan ombak tepi pantai mengalun menyapu pantai

angin-angin sepoi memberi rasa tenang nan sejuk

pukul : 7.55 WIB

bumi Aceh mulai bergoyang

semua manusia, makhluk hidup mulai terhuyung-huyung

terucap dari bibir mereka lafaz Allah

wajah mereka pucat

keringat dingin bercucuran

mereka mulai bertanya

mereka mulai cemas

wajah mereka memancarkan kebingungan

apa sebenarnya yang terjadi?

menit-menit berlalu

perlahan goncangan itu lenyap

tetapi seketika gemuruh ombak maut

datang memporak-porandakan bumi Aceh

teriakan-teriakan manusia menggema

suasana tegang, wajah mereka pucat pasi

semua berlari menyelamatkan diri

semua mulai mencari,

mana ibu?, mana ayah?, mana sanak saudaraku?

bayi kecil dalam dekapan hangat ibunya

menangis merengek-rengek

anak-anak kecil hanya bisa mematung

dari wajah mereka terdapat tanda tanya besar

hati mereka menjerit, teriris, sesak di dada

air hitam itu mulai datang, menenggelamkan tubuh mungil mereka

tangan-tangan mungil mereka melambai-lambai

lalu seketika lenyap

inilah kuasamu Ya Rabbi

bumi Aceh telah porak-poranda

rumah, harta benda, sanak saudara

hilang semua

tetes air mata mulai membanjiri setiap manusia pada saat itu

lumpur hitam, rongsokan bangkai mobil, mayat-mayat berserakan di jalan

bau lumpur menyengat bercampur bau-bau busuk

semua manusia hanya bisa mematung

inilah cobaan yang engkau berikan pada kami Ya Rabbi

semua manusia bertanya

Ya Allah marahkah engkau pada kami?

apakah ini azabmu?

bumi Aceh Menanggis

26 Desember 2011

7 tahun berlalu

bumi Aceh bangkit dari keterpurukan

semua telah tertata kembali

Aceh kembali jaya setelah tsunami

bumi Aceh tersenyum

Ya Allah mungkin inilah hikmah dari cobaanmu

Thifal Azhar, Murid Kelas 2 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Model

Banda Aceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline