Oleh: Azhar Adam (Manusia Fakir Ilmu)
Islam merupakan sebuah ajaran Allah yang diamanatkan kepada Rasul Muhammad melalui wahyu-Nya yaitu Malaikat Jibril. Dengan diturunkannya agama Islam dan kemudian Muhammad diangkat menjadi Rasul di muka bumi tak lain bertujuan untuk memperbaiki Aqidah dan juga Akhlak seluruh ummat manusia di dunia yang fana ini. Meski begitu, perkembangan Islam tentulah sangat panjang, sejak Rasul Muhammad menerima wahyu pertama surat Al-Alaq yakni "Iqra" sampai pada hari ini yang dihadapkan pada zaman disrupsi. Dengan demikian, agama Islam sudah mengalami beberapa perkembangan mulai dari kemunduran hingga zaman kebangkitan sampai pada berjaya-nya Islam. Kemunduran dan Kejayaan situasi agama Islam tentunya sangat dipengaruhi bagi ummat pemeluk Islam. Mulai dari terciptanya tokoh ummat Islam tradisional hingga hari ini yang telah berubah menjadi Islam modern.
Dari perkembangan sejarah ummat Islam ketika berada di posisi pemikiran ummat Islam tradisional tentulah berbeda dengan apa yang disampaikan oleh pemikiran tokoh Islam modern. Ciri khas dari pemikiran ummat Islam tradisional ketika itu ber-tendensi kepada sikap yang masih eksklusivitas. Sedang pemikiran tokoh Islam modern yakni adanya sebuah kecondongan terhadap apa yang dinamakan dengan Inklusivitas. Maka dengan begitu, mari kita tilik bersama tendensi ummat Islam hari ini yang sedang berada pada era disrupsi, sehingga nantinya akan menghasilkan sebuah kritikan dan pertanyaan besar dari ummat Islam itu sendiri terkhusus dalam benak penulis. Apakah dalam era disruptif ini ummat Islam telah mengalami sebuah deviasi secara besar-besaran? Atau memang masih mempertahankan prinsip yang dibawa sejak zaman Rasul Muhammad yang kemudian digantikan oleh para Khalifah? Serta problematika apa saja yang terjadi dan harus dihadapkan oleh ummat muslim pada era sekarang ini? Mari belajar bersama dalam tulisan berikut ini.
Perubahan Sosial dan Modernisasi
Ummat Islam hari ini sedang dihadapkan pada situasi dunia post-modern terjebak ke dalam kondisi yang penuh akan kontradiktif. Di satu sisi telah terjadi modernisasi begitu cepat, sedang dalam sisi yang lain terdapatnya usaha yang begitu keras untuk mempertahankan identitas feodal untuk melawan sebuah perubahan. Namun ummat Islam harus dihadapkan pada posisi yang dilema yakni bahwa kondisi tersebut menuntut perubahan dalam tata ekonomi dan juga teknologi selain usaha untuk mempertahankan watak primordial pada wilayah teologis. Mengutip perkataan Ali Engineer bahwasannya ummat Islam sebenarnya memiliki budaya dan juga tradisi bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi dan budaya tersebut harus kembali direvitalisasi secara baru dengan menggunakan kerangka dan prasarat rasional supaya tetap bisa survive dan diterima pada kehidupan modern. Tetapi telah menjadi asumsi yang lumrah bahwasannya Islam menentang akan perubahan dan menolak modernisasi. Mereka yang berfikiran seperti itu bisa kita jumpai baik dari kalangan Muslim ataupun Non-Muslim.
Secara faktual perdebatan semacam ini memuncak pada kalangan ummat muslim sejak abad ke-19 yaitu sedari zaman colonial dimulai. Menurut Engineer bahwa terdapat tendensi untuk men-stereotype-kan agama Islam dan dibuat asumsi yang simplistik. Mereka yang mengetahui akan sependapat bahwasannya problem yang terjadi ialah sangat kompleks daripada kenyataan biasanya. Biasanya perdebatan yang terjadi seputar pada wilayah teologis dengan tak menghiraukan aspek sosiologis dari fenomena, untuk sebagian orang hanya wilayah teologislah yang paling penting. Sedang bagi yang lainnya fenomena teologis wajib ditempatkan dalam perspektif sosiologis demi pemahaman yang lebih baik lagi.
Dalam hal ini, pemaknaan dakwah bisa kita artikan sebagai suatu upaya untuk menghadirkan sebuah ajaran dan juga nilai-nilai Islam yang berangkat dari pemaknaan historikal dan makna sosial. Maka dengan asumsi inilah dakwah wajib ditransformasikan kepada bentuk ide pemikiran dan gerakan sosial yang memposisikan teologi ke dalam ideologi sebuah gerakan dakwah, teologi dengan aksi sosial, tauhid dan persatuan ummat, manusia dan sejarah, kenabian dan juga gerakan sejarah, sistem dan kemanusiaan, sehingga nantinya takkan ada lagi insan (ummat Islam) satupun yang diam bahkan terbelakang. Jikalau dihadapkan pada situasi persoalan modernisasi dan juga perubahan, maka bentuk dakwah haruslah secara menerus direformasi, tapi bukan menyesuaikan diri terhadap segala kemajuan zaman melainkan tetap berdiri di atas landasan tauhid Islam yang telah Allah sampaikan melalui Rasul-Nya dengan hanya memodifikasi ungkapan budayanya saja.
Dengan menilik hal di atas maka Islam telah menjawab bagaimana seharusnya sikap ummat Muslim dalam menghadapi modernisasi seperti yang tertuang Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Luqman pada ayat ke-27 yang artinya: "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Maka dengan begitu Islam juga merupakan agama yang sangat mendukung kemajuan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, Islam sangat menghendaki manusia menjalankan ruang yang didasarkan atas rasional atau akal dan iman. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak memberi tempat yang lebih tinggi kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan, Islam pun menganjurkan agar manusia jangan pernah merasa puas dengan ilmu yang telah dimilikinya karena berapapun ilmu dan pengetahuan yang dimilki itu, masih belum cukup untuk dapat menjawab pertanyaan atau masalah yang ada di dunia.
Namun, melihat fenomena yang terjadi dalam era disruptif ummat Islam mengalami sebuah kebingungan atas apa yang terjadi. Wajar saja ketika ummat Muslim dihadapkan dalam situasi tersebut, karena memang era disrupsi dan juga modern seperti sekarang ini telah banyak mengalami perubahan, baik secara sistem tatanan sosial sampai kepada teknologi. Dengan era modern seperti sekarang ini beberapa kalangan kaum Muslimin yang kebingungan telah menemukan jawabannya yakni dengan hijrahnya pola berfikir yakni yang tadinya masih bersikap secara eksklusif dengan mempertahankan aspek teologis seperti yang telah dijelaskan di atas berhijrah menjadi berfikir secara inklusif. Tetapi masing-masing keduanya mempunyai kelemahan dan kelebihan.
Salah satu yang paling menonjol ketika ummat Muslim yang masih menerapkan sikap eksklusif (tertutup) ialah tidak menerima akan adanya modernisasi dan juga dinamisasi pemikiran yang berkembang. Sehingga akan terjadinya sebuah tendensi yang stagnan, sedangkan Islam sendiri sangat membuka ruang pemikiran untuk kaum pemeluk ajaran Allah menjadi lebih baik lagi baik perihal ranah intelektual, akidah maupun akhlak. Sedangkan ummat Islam yang menerapkan sikap inklusif ialah membuka ruang pemikiran baru yang kompleks dan komprehensif dalam segala hal. Namun, hal ini acap kali salah diartikan sehingga dapat menjadi sebuah boomerang kembali kepada kalangan Muslim itu sendiri. Seperti halnya Islam Radikalisme, Islam Ekstrem, bahkan sampai kepada deviasi ajaran agama Islam sendiri dengan menerima paham yang lain yang kemudia mencoba diterapkan dalam ummat Islam.
Maka salah satu yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin ialah tetap berpegang teguh kepada ajaran Allah (Al-Qur'an) dan ajaran Rasul (Sunnah) serta sami'na wa'athana kepada Ulil Amri (Khalifah atau pemimpin) dalam hal yang baik. Dan ketika ada segolongan ummat Muslim yang lain menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang munkar (Ali-Imran ayat 104) maka selaku ummat Muslim sudah sepatutnya kita membersamai dan mengikuti mereka dengan tidak meninggalkan ajaran pokok dari agama Islam. Sehingga nantinya bisa tercapai Islam yang kaffah, jika dikatikan dengan Negara hal ini bisa membawa perdamaian abadi seperti cita-cita Rasul Muhammad dengan toleransi yang tinggi dan telah tertuang dalam Piagam Madinah serta dapat terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafur"