Oleh : Azhar Adam
Seperti yang kita ketahui bersama lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang lebih sering didengar oleh telinga semua masyarakat Indonesia yaitu KPK merupakan lembaga yang pada awal mula dibentuknya sebagai lembaga yang independen dan tidak termasuk ke dalam lembaga Negara eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Pendirian KPK sebagai lembaga Negara yang independen sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada pasal 3 dalam UU tersebut berbunyi "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun." Artinya sudah jelas bahwa pembentukan lembaga Negara ini terbebas dari pengaruh kekuasaan baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Namun seiring berjalannya waktu KPK berubah menjadi lembaga Negara yang berawal independen menjadi rumpun kekuasaan eksekutif. Pasal 3 pada UU Nomor 30 Tahun 2002 pun direvisi yang menghasilkan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Pada pasal 3 dalam UU tersebut direvisi dan melahirkan UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Maka yang ada dalam pasal 3 UU No.19 Tahun 2019 berbunyi "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun."
Berbagai permasalahan turut mewarnai revisi UU dan banyak pro dan kontra atas revisi UU tersebut. Mulai dari semakin maraknya kasus korupsi di Indonesia dan kasus tersebut ada yang berasal dari kekuasaan Eksekutif.
Sebut sajalah kasus korupsi mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo yang merugikan Negara hingga 24 Miliar dan US$ mencapai 77 Ribu karena melakukan tindak pidana korupsi menerima suap perizinan usaha perikanan budidaya lobster.
Dan yang kemudian diikuti oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara yang mengkorupsi dana bantuan sosial dan merugikan Negara dan masyarakat hingga 3,95 Triliun.
Lalu kasus dinonaktifkannya Novel Baswedan beserta 75 pegawai KPK yang entah apa alasannya, berdalih dengan Tes Wawasan Kebangsaan. Namun isi dari Tes tersebut tidaklah sesuai dengan kelembagaan KPK dan justru lebih terlihat konyol.