Masalah parkir liar di Jakarta sudah sejak jaman penjajahan Belanda. Pada masa itu parkir liar disebut sebagai "jaga oto" yang dikelola oleh para jawara lokal.
Para jawara lokal itu saat sekarang disebut sebagai preman sebagai jujur liar. Banyak keluhan dan laporan tentang pengunjung minimarket atau ATM Bank atau pasar ketakutan dengan oleh ulah preman jukir liar. Seakan kota ini dikuasai oleh para preman. Butuh tindakan tegas aparat keamanan dan lainnya untuk menghapus premanisme parkir liar.
Begitu pula di kawasan parkir resmi saja sering terjadi kenakalan petugas jukirnya. Sering jukir tidak mengarahkan pengguna parkir untuk mendaftar ke mesin parkir online. Petugas justru melakukan penarikan langsung tanpa tiket atau pembayaran resmi dan bahkan melebihi tagihan tarif resmi.
Saya pun pernah mengalaminya di saat parkir daerah jl Cikini Raya. Saat itu saya parkir di kawasan parkir dengan parkir online. Ketika hendak keluar saya diminta Rp 25.000 padahal baru parkir sekitar 2 jam. Perlu tindakan tegas.
Parkir liar terus ada dan berkembang karena penghasilannya uangnya cukup besar. Ditambah lagi pemain di sektor parkir ini melibatkan banyak pihak, mulai dari oknum ormas dan oknum aparat petugas juga. Kondisi inilah yang membuat masalah parkir, terutama parkir liar terus ada di kota Jakarta.
Masalah parkir bukan hanya Jakarta tapi juga kota-kota besar lainnya. Melalui manajemen parkir, daerah bisa mendapatkan penghasilan dari retribusi serta pajak parkir.
Selain itu parkir adalah alat mengendalikan atau manajemen transportasi, yakni mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi dan kemacetan kota. Membereskan masalah parkir maka akan mendapatkan dua fungsi tersebut.
Jakarta, 4 Mei 2024
Azas Tigor Nainggolan (Pengamat Transportasi).