Lihat ke Halaman Asli

ANALOGI SEPAKBOLA INDONESIA DENGAN BALAPAN MOTOR: Jawaban Atas Konflik PSSI Vs Kemenpora

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14326181191020580025

Tidak bisa dipungkiri sepakbola adalah olahraga kebanggaan dan menjadi olahraga nomor 1 bagi masyarakat Indonesia. Sepakbola seharusnya bisa memberikan suguhan yang menarik bagi siapapun dan menjadi alat pemersatu bangsa. Namun yang terjadi sekarang justru adanya konflik dari para petinggi, yaitu PSSI sebagai induk organisasi sepakbola nasional dan pemerintah sebagai “pelindung” pesepakbolaan nasional.

Kita sebagai penikmat sepakbola nasional seharusnya cermat dalam menyikapi konflik yang terjadi akhir-akhir ini, dimana kompetisi sepakbola nasional diberhentikan karena adanya ‘kepentingan’ yang masing-masing mereka bawa. Di satu sisi, PSSI baru mulai berjalan kepengurusannya dan lagi semangat-semangatnya membangun sepakbola nasional ke arah yang lebih baik lagi (Anda setuju???), di sisi lain pemerintah ingin sepakbola bisa berjalan dengan baik tanpa adanya kedzaliman yang dilakukan PSSI (saya pakai bahasa yang adem, karena pak Menpora Imam Nahrawi ustadz).

Lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam sepakbola nasional kita? Mengapa mereka berdua begitu getol dengan kepentingannya masing-masing?

Izinkan saya untuk melakukan analogi atau perumpamaan untuk memudahkan pemahaman.

Saya lebih suka menganalogikan sepakbola kita seperti balapan motor. Maaf jika terlihat tidak nyambung. Tapi mungkin analogi ini bisa membantu pemahaman Anda.

Tujuan dari balapan motor adalah finish di urutan pertama, juara, kemudian lanjut ke level berikutnya sampai pada level yang tertinggi dengan jenis motor atau CC tertentu. Dan semua pembalap motor pasti ingin berkompetisi di ajang tertinggi seperti Moto GP.

Sama saja dengan sepakbola. Pembalap bisa diibaratkan dengan pemain, pelatih, klub. Motor diibaratkan dengan kompetisi. Lalu PSSI diibaratkan dengan tim yang membawa pembalap dan motornya untuk ikut berkompetisi.

Dengan komposisi tersebut, pembalap Indonesia ternyata tidak bisa berbuat banyak di tiap tiap racenya. Namun supporter Indonesia tetap mendukung tim kesayangannya, meskipun tidak jarang pula cemoohan yang didapat.

Dengan keadaan pembalap Indonesia yang gajinya tidak dibayar sampe berbulan-bulan, wajar saja jika saat track lurus pembalap ogah-ogahan untuk tancap gas J. Pembalap tidak semangat untuk mengikuti race-race selanjutnya. Pemain tidak semangat untuk bermain di pertandingan-pertandingan selanjutnya. Dan jangan harap sehebat-hebatnya motor yang ditunggangi bisa finish dan naik ke podium.

Sehebat-hebatnya motor? Belum masalah pembalap selesai, ternyata motor yang ditunggangi pembalap tidak layak pakai dan seharusnya “digudangkan”. Ban yang menipis (seringnya pengaturan skor karena banyaknya mafia pertandingan), bahan bakar yang hanya menggunakan BBM bersubsidi (infrastruktur tidak memadai, lapangan tidak rata, lampu lapangan kadang mati), serta rem tromol hahaha (diibaratkan seperti kualitas wasit), seharusnya bisa segera diperbaiki oleh tim PSSI.

Anehnya tim/PSSI seperti menganggap keadaan tersebut baik-baik saja dan sebaiknya terus melanjutkan race-race berikutnya, dengan dalih…”kita sekarang sedang dalam performa yang terbaik* (NGAWUR, yang ada sepakbola balapan (pelan seperti) gajah, performa terbaik apanya !!!), jika kita tidak melanjutkan race berikutnya, pemain akan menganggur, penonton kecewa karena tidak ada tontonan, dan yang terpenting lagi, kita akan dibanned dan tidak lagi punya kesempatan untuk berkompetisi ke level yang lebih tinggi.

Hmm.. suci sekali alasannya, ustadz pun kalah. Padahal sebenarnya tim itu tidak punya kapasitas untuk menjadi tim juara. Mereka tidak tahu apa yang yang harus dilakukan jika ban pecah, bahan bakar habis, atau rem blong. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk memoles motor yang bobrok ini agar menjadi motor yang layak untuk ditandingkan di ajang MotoGP (anggap saja MotoGP seperti kompetisi level Asia Tenggara, Asia, atau Internasional). Ya, wajar saja karena tim tersebut diisi dengan orang-orang partai yang ingin memanfaatkan sponsor yang masuk dari tempelan-tempelan di motornya. Ditambah lagi dengan beruntungnya mereka karena terus mendapatkan dukungan dari penonton yang fanatic, media yang subjektif, tanpa tahu akar permasalahannya.

Dengan keadaan seperti ini, bodoh sekali jika pemerintah diam-diam saja. Sepakbola sebenarnya bisa menjadi factor pertumbuhan ekonomi Indonesia jika dikelola dengan baik, apakah dengan banyaknya pemain asing berkualitas yang masuk (seperti tren di Amerika sekarang), pemain lokal berkualitas yang dikontrak untuk bermain di kompetisi luar, atau kompetisi yang menarik yang bisa dijual hak siarnya jika dengan tayangan yang berkualitas seperti di liga Inggris. Dan itu semua apabila terjadi, aliran uang yang terjadi di sepakbola nasional kita akan sangat cepat dan tentunya mendukung perekonomian nasional.

Dengan sepakbola, penjual merchandise dan jersey di luar stadion pun bisa mendadak kaya. Sepakbola terbukti membuat pihak-pihak yang terlibat didalamnya menjadi ‘mendadak kaya’, karena memang sepakbola adalah ladangnya uang, uang yang bisa didapat dengan cara yang cepat dan instan. Itulah mengapa PSSI dan orang-orang didalamnya tidak ingin hegemoninya diusik oleh pihak manapun, terlebih pemerintah.

Kembali lagi dengan analogi balapan, motor yang bobrok ditambah dengan pembalap yang ogah-ogahan tancap gas, membuat pemerintah terusik untuk turut andil dalam memperbaiki, dengan cara menindak tim yang membawa pembalap dan motornya, yaitu PSSI. Sangat lumrah dan tidak salah jika pemerintah ikut campur tangan, karena pemerintah ingin menyelamatkan pembalap dan penonton yang selalu antusias. Namun anehnya, tim/PSSI tidak ingin ada campur tangan dari pihak manapun, seolah-olah mereka tahu apa yang seharusnya dilakukan. Oke jika kita semua percaya dengan tim ini, tapi apa buktinya selama ini? Ini adalah momentum bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan, bukan tim/PSSI, karena kita semua sudah sulit untuk percaya dengan kapasitasnya. Penonton sudah lama menunggu pembalap dengan motornya untuk bisa berada di podium, berpesta dengan champagne-nya.

Lalu apakah tindakan pemerintah sudah sepenuhnya benar? Memang sikap dari pemerintah membuat pembalap/para pemain menganggur kehilangan pekerjaannya (geli saya menuliskan ‘kehilangan pekerjaannya’, karena seharusnya pemain hanya focus untuk jenjang karir menjadi pemain professional dan berprestasi, bukan bermain sepakbola untuk mendapatkan uang. Gaji/uang seharusnya menjadi jaminan bagi pemain untuk terus bermain ke jenjang kompetisi yang lebih tinggi). Namun paling tidak sikap ini lebih baik daripada membiarkan kompetisi berlanjut dengan tidak adanya jaminan bagi pemain untuk terus berkembang, dengan gaji yang pembayarannya ditunda sampai berbulan-bulan.

Salah apabila media mengatakan bahwa sikap Menpora dengan membekukan PSSI berdampak pada berhentinya kompetisi. Padahal Menpora terus mengupayakan agar kompetisi terus berjalan dengan memerintahkan PT Liga untuk tetap melanjutkan kompetisi, semata-mata untuk menyelamatkan para pemain, pelatih, klub, dan tentunya saya juga sebagai supporter setia timnas Indonesia. Namun kenyataannya, dengan arogan PSSI menyatakan kompetisi diberhentikan dengan alasan yang mengada-ada, ‘force majeur’ katanya, karena kepolisian tidak mengizinkan pertandingan diadakan. Pemerintah hanya ingin kompetisi berlanjut dengan tanpa adanya campur tangan PSSI, karena kita semua sudah sulit untuk percaya dengan kapasitasnya.

Seharusnya ada sikap kooperatif dari PSSI kepada pemerintah. Pemerintah ingin agar para pemain dilindungi dengan pembayaran gaji tepat waktu, legalitas klub yang jelas, dan tentunya janji sepakbola nasional bisa berprestasi. Janji saja oke tidak apa, tak perlu bukti. Mafia? Biarkan mafia berkeliaran, karena memang bagaimanapun mafia pasti ada, dimanapun, tidak hanya di sepakbola. Sekarang mudah saja, apa sebenarnya visi misi yang diusung La Nyalla Mattalitti saat mencalonkan diri sebagai ketua umum PSSI, atau di media akhir-akhir ini sering disebut Presiden PSSI, atau apalah namanya, saat konggres luar biasa di Surabaya tanggal 18 April lalu, saking hebatnya sehingga tiga calon mengundurkan diri saat menjelang proses pemilihan ketua umum PSSI (lihat http://sport.detik.com/sepakbola/read/2015/04/18/122244/2891067/76/tiga-calon-ketum-pssi-mengundurkan-diri-termasuk-joko-driyono--djohar).

Apakah itu disebabkan karena mereka tahu hebatnya visi-misi yang akan diusung La Nyalla, atau mereka memang tidak ada harapan untuk bisa menjadi ketua umum (karena sebelum konggres mungkin sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya). Jika memang demikian, berarti saat konggres tidak ada sesi penyampaian visi misi? Lalu apa yang menjadi dasar bagi anggota PSSI yang punya hak pilih untuk memilih La Nyalla sehingga sampai mendapatkan suara yang cukup telak? Lihat http://bola.liputan6.com/read/2215927/menang-telak-la-nyalla-pimpin-pssi-periode-2015-2019.

Seharusnya mudah bagi PSSI untuk memenuhi perintah dari pemerintah tersebut. Tetapi PSSI selalu saja melawan dengan statuta, bahwa tidak boleh ada campur tangan dari pihak manapun, jika ada maka kita mendapat sanksi FIFA. Dari dulu itu saja alasannya yang menjadi dasar untuk menakut-nakuti pihak manapun yang ingin mengintervensi mereka. Iya memang dampaknya klub atau timnas tidak bisa ikut kompetisi level Internasional. Setuju memang pemain, klub, supporter akan jadi korban. Namun pemerintah terus berupaya agar itu tidak terjadi. Yang perlu disorot adalah, lihat itu motor (kompetisi) yang kita pakai. Lihat itu pembalap (pemain) gajinya ditunggak terus. Apakah dengan keadaan pembalap dan motor yang bobrok ini bisa membuat Indonesia kompetitif di kompetisi level Internasional?

Lalu, apa sikap Anda? (masih) dukung PSSI? Atau dukung Menpora?

Untuk saat ini saya meyakini bahwa Menpora Imam Nahrawi punya visi yang lebih baik daripada La Nyalla. Sekian.

*https://www.youtube.com/watch?v=Z1silN5YdnY (Perseteruan PSSI vs Kemenpora – Kompasiana TV, 22 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline