Lihat ke Halaman Asli

Dialog Langit: Jangan Pernah Cemburu pada Bintang, Bulan!

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dialog Langit

Bedebaaamm, bedebuuumm. Suara itu terdengar keras sekali. Di mana? Di mana? Kau tidak akan menemukannya. Bedebaaaamm, bedebummm, kemudian bergoyang. Ah, ini tidak hanya bergoyang, tapi berguncang. Dddaamm ddduuummm. Di mana sumber suara itu?
Mungkinkah langit tahu jawabannya? Malam belum kunjung datang ketika itu. Cahaya matahari masih sangat terangnya hingga kilau bulan dan percikan bintang-bintang tiada terasa oleh langit. Bulan hanya sedang gelisah. Menanti malam yang dijanjikan indah oleh langit.
***
"Jangan pernah membenci bintang." sapa Langit pelan. Mengusik lagi getaran yang masih bedebam bedebum di tengah sabitnya bulan.
"Aku hanya khawatir." Bulan menjawab lebih pelan lagi.
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Malammu."
"Haruskah aku mengatakan sekali lagi padamu, Bulan?" Langit tiba-tiba pasrah.
Bulan sedikitpun tak bergeming.
"Malam akan selalu indah dengan hadirmu. Maka tunggulah nanti ketika waktu malamku tiba. Kau pasti yang kutunggu. Cahayamu pasti yang akan kujemput untuk menyempurnakan malamku."
"Aku hanya takut." Bulan menunduk.
Berpal-pal jauhnya dari perbincangan langit dan bulan siang itu, burung-burung kecil beterbangan. Mereka hanya tidak tahu di atas sana, Bulan sedang mengaduh. Ah, burung-burung itu juga tidak tahu perasaan bulan. Langit pun sepertinya tidak bisa meraba perasaan itu, perasaan takut.
"Aku hanya takut, Langit." Bulan mengulanginya.
Langit diam saja. Atmosfer udara tiba-tiba terasa begitu hangat. Ya, ia merasakan perasaan takut yang dirasakan bulan.
"Bintang?" Langit tersenyum, "Ah, bukan, seharusnya aku mengatakan bintang-bintang."
"Aku hanya khawatir. Begitu banyak kerlip bintang di sekelilingmu."
Langit kembali tersenyum.
"Aku bahagia mereka ada." kata Langit bangga.
Bedebam bedebum itu bertambah kuat. Hanya bulan yang merasakannya. Entah dengan langit.
"Kau tahu, Bulan? Bintang-bintang itu sangat mendukungku. Kerlip cahayanya mengindahkan malamku."
Bedebam bedebum semakin kuat. Bulan gentar. Kegelisahannya semakin menjadi. Mungkin langit memang telah berpihak pada bintang untuk malam harinya. Mungkin langit selamanya tidak akan pernah lagi memilih bulan untuk mengindahkannya. Mungkin langit memang ada untuk menemani malam bintang, bukan bulan.
“Mengapa engkau diam, Bulan? Engkau masih takut?”
Bulan tak menjawab. Tapi Langit tahu pasti perasaan takut itu.
“Jangan pernah membenci bintang. Mengertilah, Bulan. Aku ini hamparan luas. Bintang-bintang itu memang harus ada. Mereka dinanti jutaan hati, sama seperti kau dinanti.”
Maka jika langit memiliki bibir, ia saat itu sedang memamerkan senyum termanisnya pada bulan yang masih saja gelisah oleh perasaan takut. Bulan juga masih diam saja. Kocar-kacir perasaannya mengatasi bedebam bedebum yang dari tadi mengelilinginya.
“Aku yakin engkau mengerti ini semua, Bulan.”
“Aku mengerti, Langit. Sungguh mengerti.”
“Apa yang engkau mengerti?”
“Bahwa memang bintang-bintang itu harus menemani malammu.”
“Dan kau?” tanya Langit tiba-tiba, membuat Bulan tidak tahu harus menjawab apa lagi.
“Terserah kau, Langit.”
“Ah, engkau belum mengerti semua ini. Engkau belum mengerti tentang keindahan malam, Bulan.” Langit merasakan lagi atmosfer hangat itu, juga perasaan takut itu. “Tidak mengertikah bahwa kau berbeda dengan bintang-bintang itu, Bulan? Mengapa engkau harus takut?”
“Aku takut salah satu bintang itu membawa semua malammu, Langit. Aku takut aku kehilangan cahayaku atas cahaya bintang itu.”
“Bukankah Tuhan itu adil? Bukankah engkau tahu Dia menciptakanmu untukku? Sebab itulah, dia hanya menciptakan satu bulan. Untuk langit. Dan bintang-bintang itu, mereka harus ada untuk menyempurnakan malamku. Ah, malam kita lebih tepatnya. Jadi mengapa engkau harus takut? Tuhan memang menciptakan malam untuk langit, bulan, dan bintang-bintang itu.”
Bedebam bedebum itu sekarang justru malah bermelodi indah. Bulan tidak tahu bagaimana keindahan malam yang dijanjikan oleh langit. Tapi penjelasan langit membuatnya mengerti, tidak seharusnya ia cemburu pada bintang-bintang.
“Tapi, Langit. Aku tidak selamanya purnama. Aku akan menyabit, bahkan terkadang hanya tampak sedikit saja.”
“Bukankah hidup memang harus berfase?”
Langit menampakkan ekspresi senyum itu lagi. Lirih ia berkata, “Tunggu takdir-Nya mempertemukan kita di malam yang indah itu, Bulanku.”
“Kabarkan pada bintang tentang kebahagiaan kita nanti, Langit. Akankah bintang juga akan bahagia?”
“Tentu.”
Berpal-pal jauhnya dari perbincangan itu, burung-burung masih beterbangan. Mereka masih tidak mengerti. Yang mereka mengerti, matahari mulai turun, senja sudah siap menjemput. Langit memerah. Malam yang dijanjikan oleh langit itu sebentar lagi akan tiba.
***
Sekarang aku mengerti, kecemburuanku pada bintang hanyalah buah emosiku. Bukankah nanti setiap manusia akan seperti Langit dan bulan? Mereka memiliki bulan untuk langit di malam hari bersama bintang-bintang.
Jangan pernah membenci bintang. Karena langit bahagia atas adanya bintang.

-bulan-

Tetangga Langit,
Selasa, 3 Desember 2012
19.05
Bulan masih belum nampak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline