Kita tidak bisa memilih dalam keluarga dan dari orang tua mana akan dilahirkan. Keluarga adalah takdir, adalah anugerah yang harus diterima dengan segala syukur
Bukan pilihanku untuk terlahir dari orang tua yang berbeda keyakinan, Bapak Nasrani dan Ibu seorang Muslim. Terlebih hal itu membuatku kenyang hujatan dan makian sejak kecil. Maha Besar Engkau yang telah menciptakan rasa bernama sabar dan ikhlas, yang membuatku tegar menerima segala takdir-Mu.
Beruntunglah aku memiliki orang tua yang bijak. Sedari keci aku sudah diperkenankan memilih agamaku sendiri meskipun aku belum mengerti. Mereka percaya, Yang Maha Esa telah menciptakan nurani dan naluri yang akan menuntunku memilih Al-Qur'an atau Alkitab, memilih tasbih atau rosario, serta memilih ikut Ibu ke masjid atau turut ke gereja bersama Bapak. Dan akhirnya aku memilih agamaku sendiri.
---
"Mbun, ayo cepet masuk kelas! Ojo nganti Bu Sukma ngomel"
Nanik menggandeng tanganku sambil berlari, berlari menuju kelas Bu Sukma. Ya, Bu Sukma seorang guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang terkenal galak dan tanpa ampun.
"Huuuh, tiwas mlayu-mlayu jebul Bu Sukma dhurung nang kelas. Kesel aku Nik"
Aku menggerutu sambil meletakkan tasku di laci. Tak lama berselang, Bu Sukma masuk kelas dan mengunci pintu kelas kami dari dalam.
Bu Sukma lantas memulai pelajaran, kebetulan pelajaran kali ini menyinggung masalah status kewarganegaraan dan garis keturunan. Pada sesi terakhir Bu Sukma mengeluarkan pertanyaan yang nampaknya agak menyimpang dari pembelajaran.
"Ayo, kok ora ono sing takon? Opo wis podo mudeng kabeh?"