Lihat ke Halaman Asli

Pesan Ayah Saat Saya Ikut Kompetisi Sepak Bola Antar-RT

Diperbarui: 10 Oktober 2017   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar, setiap menjelang momentum hari kemerdekaan saya sering terlibat dalam kompetisi sepakbola. Event tersebut biasanya dibuat berjenjang. Mulai dari antar Rukun Tetangga (RT), lalu naik ke level antar Rukun Warga (RW), terus melaju ke antar kelurahan, kecamatan, dan antar kota/daerah.

Takdir tak bisa dilawan, saya kebetulan tinggal di wilayah RT yang anak laki-lakinya tidak terlalu banyak. Mau tak mau, ketersediaan pemain sangat terbatas. Seingat saya, dulu tim dari RT saya hanya memiliki dua orang cadangan. Padahal dari tim RT lain, cadangannya bisa sampai 5-6 orang.

Di beberapa RT yang kebetulan jumlah anak laki-lakinya banyak, seringkali sampai menggelar seleksi sederhana untuk mencari pemain potensial. Berbeda dengan di RT saya, tanpa adanya seleksi pun jumlah pemain sudah benar-benar pas-pasan.

Di RT yang jumlah laki-lakinya banyak tentu saja sering melangsungkan laga latihan yang efektif. Jumlah mereka cukup untuk dua tim dan bertanding sebagai sparing partner. Di RT saya, kalau bertanding pasti jumlahnya berbeda dengan jumlah yang dipersyaratkan dalam kompetisi. Lapang yang digunakan pun lebih kecil, karena memang jumlah pemainnya lebih sedikit.

Dan saya, suka sekali main bola. Kenyataan tersebut membuat saya sering galau. Ah.. takdir. Kenapa saya harus tinggal di sini, sehingga saya mustahil berada dalam tim unggulan yang memiliki bekal personil yang cakap. Hilang sudah mimpi saya untuk bisa bertanding ke level berikutnya. Tim saya lemah, karena pemainnya memang seadanya.

Saya curhat sama ayah. Saya ceritakan kegalauan saya padanya. Untuk apa ayah membelikan sepatu lengkap dengan kaos kaki keren, kalau tim saya lemah. O ya, karena posisi saya sebagai kiper, saya juga dibelikan sarung tangan yang bagus. Tapi ya itu tadi, rasanya mubazir. Mustahil rasanya tim kami menjadi pemenang, dan melaju ke level selanjutnya.

Mendengar kegalauan saya, ayah saya tersenyum. Wajah ayah ketika itu rasanya masih lekat dalam pandangan saya. Padahal, kejadian ini sudah berlalu kurang lebih 30 tahun silam. Ya, saya masih ingat sekali wajah ayah ketika mendengar kegalauan saya.

"Jangan kecil hati, Nak. Kalau kamu mau main di level yang lebih tinggi, syaratnya hanya satu. Besok, bermainlah sekuat kemampuanmu. Jangan menyerah sebelum bertanding," ujarnya, seraya menatap mata saya, seolah ingin menancapkan pesan tersebut di hati saya.

Sepakat! Singkat cerita saya berjanji akan bermain sebaik mungkin. Meski sejujurnya, hati saya masih dilingkupi kegalauan.

Sore itu, kami sudah berbaris di salah satu sisi lapangan. Tim lawan kami pun demikian. Sebentar lagi kami akan merumput. Adrenalin saya mulai naik. Saya menggerak-gerakkan tubuh saya agar lentur, sekaligus membuang rasa gelisah yang masih menggelayuti hati. Lalu sebuah tepukan ringan hinggap di pundak saya...

"Nak, jangan pernah merasa kalah sebelum peluit terakhir terdengar!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline