Matamu melotot melihat saya di depan rumahmu. Kau mulai mengumpat: Bajingan! Bagaimana bisa? Diiringi sebuah pelukan, lalu bertanya-tanya pada saya: Bagaimana mungkin kamu bisa sampai di rumah saya, kapan saya pernah memberi alamatmu? Naik apa tadi? Begitulah tanyamu. Saya cengar-cengir dan langsung duduk di teras estetik rumah keluarga kecilmu, yang selama ini saya hanya bisa lihat dari akun sosial mediamu. Begitu nyaman, suasana tempat tinggalmu tenang juga.
Entah berapa lama, saya tidak tahu persis. Sebelum ini kita bertemu sekitar satu atau dua tahun lalu? Saya tidak begitu jelas persisnya, itu ketika kau mengunjungi saya dan beberapa kawan kita yang belum lulus di Bursa Kuliner seberang kampus, saat itu kau datang bersama istri, dan putri kecilmu yang teramat lucu itu. Ketika itu sebentar kita bercengkerama dan kemudian saat kau mulai hendak pulang, saya bergeser duduk dan berbincang dengan adik- adik tingkat sambil memandang dan melambai ketika kau pergi keluar Bursa Kuliner...
...kau mulai meminta saya sejenak berhenti dan menanyakan apakah saya suka kopi hitam untuk perbincangan malam ini? Ya, saya mengangguk. Kopi datang, dan kau mulai bertanya lagi, bagaimana mungkin bisa sampai sini?
Saya terus terang berkata, barangkali ini keajaiban karena sebuah kerinduan pada karib lama. Ya, seperti katamu pula, ketika saya kirimkan foto via whatsapp bersama beberapa kawan yang datang ke Kenduri Cinta di Cikini dan kau bilang iri sekali bisa berkumpul bersama di forum itu. Lalu kita tertawa bersama. Getir, tapi melegakan. Akhirnya kita bisa berbincang di rumahmu, yang saya belum pernah menginjakkan kaki di sini, dan, ya, setelah sekian lama.
Kau mulai menyinggung tentang wisuda dan mungkin sedikit apresiasi atas apa yang saya selesaikan pada akhirnya. Juga permintaan maaf karena tidak menepati janji untuk datang. Tapi saya tidak tertarik membahas seremonial wisuda dan kuliah yang saya ingin segera keluar dari kampus, tapi saya bilang terus terang bahwa, mengapa saya nekat menemuimu, karena awalnya saya baru saja menyelesaikan menonton beberapa serial animasi sekuel dari Mobile Suit Gundam, itu dikarenakan saya terpantik dengan konten di akun sosial mediamu di mana kau mempromosikan satu mousepad lebar unik bergambar sebuah seri robot yang, ya, itu membangkitkan kenangan lama, tahun-tahun di mana kita mungkin masih kecil hingga remaja yang menghabiskan waktu untuk menonton serial animasi itu. Ketika saya putar kembali beberapa minggu terakhir, membuat saya banyak merenungkan tentang kehidupan duniawi. Terutama dalam banyak cerita khas memperebutkan sumber daya hingga peperangan dan dunia dalam kekacauan... Gila, saya terkejut bahwa animasi yang kita kira hanya tentang mesin yang bisa menembak dan berperang memiliki jalan cerita dan unsur-unsur seserius itu dan kita baru sadar ketika dewasa. Dulu kita hanya menikmati fitur-fitur pada robotnya saja, hahaha. Bukankah dulu di rumah orang tuamu kita juga seringkali membahas perihal apa saja? puisi, prosa, film, musik, sepakbola, dan lainnya.
Ngomong-ngomong, itu hanya satu faktor, faktor lainnya sebenarnya saya, mengingatmu dan berkunjung, hanya demi membicarakan hal ini, karena kau memiliki seorang anak perempuan, meskipun anakmu itu belum ada enam tahun, tapi berita-berita belakangan sungguh mencemaskan. Seperti malam-malam ketika kita bicara perkembangan politik atau fenomena sosial via pesan, kau tertawa, dan ya, saya mungkin terlalu gila karena datang jauh-jauh dari Jakarta hanya karena, ah toh kau juga merindukan perbincangan-perbincangan semacam ini, jadi, mari kita bicarakan saja hal-hal yang telah lama kita tidak bicarakan.
Hei, Apakah kau tak resah dengan kabar pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh Kepala Desa dan mantan Kepala Desa di sebuah daerah di seberang pulau sana, terhadap seorang gadis SMA berusia 17 tahun itu? Menurutmu apa yang membuat keadilan tak kunjung datang?
Apakah tidak bisa Tuan Keadilan bangun dari mati surinya, sekejap saja, lantas merasuki para penegak hukum yang belum juga kunjung datang. Mungkin Satreskrim Polres daerah itu terlalu sibuk dengan urusan penting lainnya seperti menyortir berkas laporan mana yang paling memungkinkan mendatangkan keuntungan di kantornya---seperti apa yang pernah diungkap oleh seorang mantan Polwan di sebuah video yang sempat viral? atau, mereka sedang menunggu instruksi dari langit?
Kita tertawa, saya membakar sebatang kretek untuk menghangatkan suasana, seperti segan entah muak kau hanya geleng-geleng kepala.
Katamu: Polres daerah itu, mungkin terjebak dalam dilema hukum yang luar biasa rumit---antara mencari bukti yang tak kunjung ditemukan, atau mungkin sedang menunggu tanda alam seperti binatang-binatang yang berlarian turun sebelum sebuah gunung merapi meletus, baru kemudian akhirnya bertindak. Atau mungkin hujan harus berubah warna terlebih dahulu, atau mungkin mereka menunggu datangnya nabi baru yang mengetuk pintu kantor polisi dengan wahyu ilahi di tangan agar bisa menggerakkan segenap kemampuan mereka untuk menindak tegas Kepala Desa dan kroninya?
Kita hanya bisa berharap, ketika Tuan Keadilan akhirnya meninggalkan sofa empuk dan menghabiskan tegukan terakhir anggur di alam barzakh sementara, bangkit dari mati surinya, seperti tokoh Dewi Ayu dalam novel Cantik Itu Luka, kita berharap ia akan memenyeberangi jalan dan mengetuk pintu para pelaku. Sampai saat itu tiba, desa itu tampaknya masih menunggu sambil menghela napas panjang, sambil mengamati para pemimpin bobrok yang bisa bebas terbang seperti burung merpati di angkasa.