Rebah dengan begitu tenang di bawah sebuah pohon di antara pepohonan tepi kali, di sebuah tempat yang tersembunyi di bawah jembatan yang jarang dilihat orang pada sebuah bendungan di Timur Jakarta itu, seperti biasa. Matanya mengintip sinar matahari yang lembut, berpendar-pendar menyilaukan di pagi cerah itu, seorang Pemuda kurus dengan rambut panjang terurai menikmati minggu yang begitu tenang, sementara di atas jalan bendungan sana, terdengar tawa atau riuh orang-orang ramai bersepeda, atau lari, sendiri atau berpasangan, atau berkelompok.
Di sampingnya tak jauh dari kepalanya, tergeletak buku dengan kondisi terbuka berjudul Twenty Thousand Leagues Under the Sea karya Jules Verne, tergeletak di antara belukar. Buku itu hadiah yang dibelikan Maryam di sebuah toko buku beberapa minggu lalu. Ia telah membawa buku itu ke manapun ia pergi, dan tak bosan ia membolak-balik isinya sambil memaki. Begitu pula tepat saat ini juga, sambil memejamkan mata, juga sesekali menggaruk bagian kulit yang terkena belukar, ia telah memaki beberapa kali,
"Sial! Betapa beruntungnya Nemo, Andai saya dapat merasakan rokok lintingan sejenis rumput laut yang digunakannya sebagai pengganti tembakau di dunia atas, sial!"
Semilir angin datang membalas makian pemuda tolol itu, dan sekonyong-konyong lepas matanya tertutup, ia berada di sebuah tempat yang berbeda. Di sana hanya ada semak belukar, tapi nampaknya tempat itu bukanlah tempat di mana ia berada sebelumnya. Pono membiarkan angin semilir itu, menuntun dirinya bangkit, kemudian berjalan. Di balik belukar ia mendapati sebuah gerbang usang yang telah berkarat sepenuhnya, angin mengajaknya melintasi pintu gerbang berkarat yang tersembunyi itu, ketika ia berdiri lebih dekat, besi-besi berkarat itu berganti.
Pono mendapati dirinya berdiri di depan sebuah gerbang yang terbuat dari pohon tua yang menjulang tinggi. Batang-batang pohon yang berbelit-belit membentuk lengkungan elegan di atasnya. Gerbang ini terasa seperti pintu masuk ke dunia lain, dengan aura misteri yang mengelilinginya.
Pada awalnya, gerbang ini terlihat seperti tidak lebih dari tumpukan cabang dan daun-daun yang terjalin. Namun, ketika Pono memandang lebih dekat, ia menyadari bahwa cabang-cabang itu saling menyatu dalam pola yang rumit dan harmonis. Cahaya matahari yang menerobos di antara celah-celah cabang membentuk pola bayangan yang menari-nari di tanah.
Saat Pono melangkah mendekati gerbang, ia merasakan semacam kehangatan dan ketenangan yang memancar dari dalam. Dan di ujung lorong yang terbentuk oleh lengkungan gerbang, ia melihat cahaya putih yang memancar terang. Cahaya itu memiliki kilauan yang begitu tulus dan memikat, mengundangnya untuk melangkah lebih jauh ke dalam.
Saat ia mendekati ujung gerbang, cahaya putih itu semakin terang dan menyilaukan, hampir seperti penerangan surga yang memancar dari alam semesta. Pono merasa hatinya penuh dengan rasa kagum dan harapan saat ia mendekati cahaya tersebut. Ia merasakan energi positif yang mengalir melaluinya, mengisi seluruh tubuhnya dengan kehangatan dan kebahagiaan.
Semilir Angin nampak mendorong tubuhnya, mengantarnya ke sebuah tempat di mana jalinan bunga-bunga yang begitu mempesona berada di baliknya.
Di taman itu, bunga-bunga terbuka dengan indah, menyajikan warna-warna yang begitu beragam. Kelopak-kelopak yang lembut terbawa oleh angin perlahan, menciptakan tarian alami yang menenangkan. Pohon-pohon ketapang kencana berdaun hijau melambai-lambai di sekitar, memberikan naungan yang sejuk di bawah sinar matahari. Dan di tengah-tengah taman, mengalir sebuah sungai kecil yang airnya bergemerlapan serupa kristal.