Lihat ke Halaman Asli

Tua Bangka Penjudi

Diperbarui: 15 Januari 2021   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tua bangka itu masih saja terjaga, berjudi di meja, biar erangan orang-orang penuh birahi pagi buta memanggil-manggilnya. Tiada peduli, ia menolak diri, tak ada guna menyerah pada ajakan mereka. Biar mereka mengerang lima waktu, atau sepuluh waktu sehari, ia tak peduli.

Meja itu adalah tempat ia bertaruh sepanjang hidupnya. Biar kalah menang, biar siang malam, ia  enggan untuk menyerah. Matanya tetap berbinar. Melihat kartu-kartu dibuka, melihat uang-uang ditarik atau dibagi, melihat orang-orang gembira atau berduka. Ia tetap di sana. Sepanjang usianya. Tak lelah meski kata orang ia telah renta.

Baru saja didengarnya orang-orang kampung ramai bicara tentang anak muda gagah perkasa yang dipaksa malam memejamkan mata. Demi mendengar satu persatu kabar orang silih berganti dipeluk malam, juga kabar orang-orang di kampung sebrang diamuk tanah yang bergoncang, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit meja tempat berjudi itu ditinggalkan orang-orang. Tapi tua bangka itu tetap di sana. Ia bergeming dalam hening yang menyelimutinya. Ia sibukkan diri dengan hingar bingar teriakan kemenangan, atau tangisan kekalahan, ia terus dan terus saja membuka kartu, berharap ia bisa menang telak dan membawa pulang semua uang, kalau perlu sang bandar bangkrut. Ia tak mengingat bahwa dirinya telah tua bangka penuh keriput.

"Aku belum binasa. Aku masih kuasa!"

Ia telah bermimpi dari semasa muda, dan ia tak akan binasa hingga mimpi itu digapainya. Dan begitulah, tak sadar puluhan tahun dihabiskannya berjudi di meja, mencari peruntungan. Meski kebanyakan kawan seusianya satu per satu pergi menjauh dari meja berisi mimpi-mimpi kosong itu, melupakannya, pergi memenuhi ajakan orang-orang penuh birahi. Tapi ia tak peduli. Ia yakin bahwa dirinya masih kuasa untuk memenangkan segalanya.

Semua telah ia pertaruhkan ;  masa mudanya, baju dan celananya, kulit bersihnya, elok rupanya, rambut hitamnya, sawah ladangnya, istri dan anak cucunya, jadi, tak ada jalan untuk berhenti. Hanya tinggal satu yang belum dipertaruhkannya, ialah, bangkainya sendiri.

Cipayung, 15 Januari 2021




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline