Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Mbah Bajul Numpang Curhat

Diperbarui: 9 Januari 2020   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi kakek tua. (sumber: pixabay.com)

Kemaren itu, ketika ramai-ramai Gemblongrejo kebanjiran,  santer terdengar Mbah Bajul mendadak jadi terkenal. Di mana-mana beliau dan beberapa buaya lain jadi sorotan. Padahal saya akhirnya tahu ngenes betul apa yang dialami Mbah Bajul.

Baru tadi sore, beliau main ke rumah saya di Kampung Sengon. Saya baru saja pulang dari bengkel memperbaiki sepeda motor yang nekat menerjang banjir ketika malam tahun baru itu, terkejut melihat sosoknya sudah asik ngelepus di depan teras rumah saya sambil ngopi.

"Ndeh, Mbah, sampeyan datang lha kok ndak ngabar-ngabari dulu?" Ucap saya, masih tidak percaya sosok buaya sepuh besar itu ada di teras rumah saya.

"Aku kepengin curhat Le."


"Monggo melebet Mbah." Ucap saya mempersilakan masuk ke dalam rumah.

Lalu masuklah kami berdua, selepas memarkir sepeda motor di luar, beliau nampak benar-benar kelelahan.  Matanya merah katanya belum tidur nyenyak sejak banjir melanda.

Saya bukakan pintu, tubuh besarnya itu dengan kulit yang keras bersisik itu merayap dengan lemah masuk ke dalam rumah. Benar-benar tidak habis pikir saya dibuatnya. Pastilah beliau sangat lelah berjalan sejauh itu membawa beban tubuhnya yang berat dan panjang itu dari Kalirejo.

Saya tentu bukannya tidak sopan karena belum menyuguhinya apapun. Lha beliau sudah membawa sendiri mbako lengkap dengan kertas papirnya. Beberapa sudah dilinting, dibawanya dengan setoples kecil yang tadi dikeluarkannya dari kantung kresek bersamaan dengan termos kecil berisi air kopinya.

Saya hanya meletakkan asbak dan duduk lesehan di depannya. Terlihat kepulan asap memenuhi udara kosong di antara kami, makin menebal.

Mbah Bajul menghisap kretek handmade-nya  seraya menuangkan isi termos dalam tutupnya yang bisa jadi cangkir juga, menyesapnya beberapa kali, menghisap lagi kreteknya, menyesap kopinya, begitu saja terus.

Matanya menerawang ke udara kosong. Sorotnya lemah. Rasanya begitu berat beban yang beliau rasakan sampai harus jauh-jauh datang ke rumah saya untuk bercerita. Namun yang terlihat hanya raganya saja yang ada di depan mata saya, sementara jiwa penghuni raga itu entah sedang berkelana ke mana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline