Setiap tanggal 2 Mei pasti selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bukan sebuah hal yang berlebihan, jika hari kelahiran Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang biasa kita kenal dengan Ki Hadjar Dewantara ini kemudian ditetapkan sebagai hari nasional melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.
Bukan saja terkenal lewat Taman Siswa atau Indische Partij yang didirikan bersama E.F.E. Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo, beliau juga adalah seorang kolumnis yang tulisan-tulisannya sangat menentang Kolonial Belanda dan juga pernah mengabdi sebagai menteri pengajaran pertama Republik Indonesia adalah hal yang patut menjadikan hari kelahirannya sebagai hari "suci" bagi pendidikan Indonesia.
Yang kemudian menjadi pertanyaan besar adalah, apakah pendidikan di negeri kita tercinta ini, sungguh-sungguh telah mencapai tujuan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945?
Pertanyaan besar tersebutlah yang kemudian membuat penulis merasa perlu mengajak khalayak pembaca untuk merenungi kembali hal-hal yang mungkin selama ini kita abaikan mumpung momentumnya bertepatan dengan Hardiknas.
Bila bersama-sama kita renungi, mengapa makin banyak orang pintar, baik bergelar Sarjana, Magister, Doktor, atau Professor tapi bukan menjadikan negeri ini semakin maju malah menjadikan negeri kita ini terasa semakin kacau balau?
Hal ini terbukti contohnya di kalangan elit-elit yang mengaku intelektual yang ada di semua lini pemerintahan saat ini kerjaannya hanya ramai-ramai korupsi, menjadi mafia hukum, suap jabatan, gratifikasi, apalah itu semua namanya yang jelas mereka hanya mementingkan isi perut sendiri.
Lalu masyarakat awam bertanya, inikah buah dari pendidikan? Apakah pendidikan hanya melahirkan manusia-manusia yang amoral, krisis iman, kehilangan nurani, lupa bahwa mereka terdidik malah mencontohkan keburukan-keburukan bagi masyarakat awam?
Bila kita mau melihat secara lebih dalam, sistem pendidikan kita hanya berfokus pada nilai-nilai, standar kompetensi, indeks predikat, yang mencetak manusia berdasarkan nilai-nilai, angka-angka, yang mencetak robot-robot industri yang tidak memiliki hati nurani yang penting terampil.
Pendidikan di negeri ini seperti menghasilkan manusia-manusia yang hampa, yang tiada berbudi, seluruh manusia hanya dinilai berdasar ukuran profesi dan besarnya gaji. Sumber daya manusia selama ini hanya dinilai dengan indikator-indikator gaya barat.
Manusia kini diukur berdasarkan materiil semata. Pendidikan negeri kita yang carut-marut dan salah arah inilah yang telah membawa kita kepada krisis sumber daya manusia yang luar biasa hebat.
Padahal sejatinya, pendidikan haruslah menjadikan manusia seutuhnya Manusia. Manusia yang bukan hanya memuaskan sifat kebinatangannya, perut atau bawah perutnya semata. Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya mencerdaskan secara intelektual tapi juga spiritual dan emosional.