Tak dapat dipungkiri, tes seleksi perguruan tinggi semakin tahun semakin menjadi momok bagi siswa SMA/SMK yang ingin melanjutkan pendidikan. Tidak cukup doa dan usaha berbulan-bulan dipersiapkan untuk menghadapi tes tersebut. Namun ternyata, yang lebih mengerikan adalah mengetahui fakta bahwa usaha anda selama ini sia-sia hanya karena satu faktor yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak bisa diperbaiki di bimbingan belajar manapun. Anda terdiagnosis buta warna.
Jangankan untuk ikut tes seleksi kemampuan, seleksi administratif pun sudah tidak memenuhi syarat. Ini bahkan tidak hanya terjadi di lingkup pendidikan, melainkan juga dalam dunia kerja.
Tidak jarang perusahaan-perusahaan besar dan prestisius mengharuskan calon karyawannya bebas buta warna. Mengapa? Mengapa tes buta warna itu penting? Dan mengapa sebagian besar orang bahkan tidak pernah sadar bahwa dirinya buta warna?
Hubungan kondisi buta warna dan pekerjaan sebenarnya sudah ada cukup lama dalam sejarah. Pada awal abad 19, tes buta warna pertama kali diperkenalkan dan diterapkan untuk tim operasional kapal laut dan masinis kereta. Tes ini akhirnya mulai diadaptasi secara luas mengingat semakin tingginya angka-angka kecelakaan kerja yang fatal akibat defisiensi persepsi/penglihatan warna.
Golongan pekerjaan yang sekiranya membutuhkan kemampuan persepsi warna yang baik, misalnya: praktisi kesehatan, analis kimia, teknisi, operasional alat berat, angkatan bersenjata, bidang transportasi dan navigasi, pekerja seni dan disain, serta lain sebagainya. Tentunya pekerjaan ini pun tidak menuntut level kecakapan yang sama terkait detail pekerjaan di bidangnya masing-masing.
Fungsi persepsi warna pada polisi tidak ekuivalen dengan fungsi tersebut saat menjadi pilot. Sayangnya, untuk keperluan pekerjaan ini, pemeriksaan untuk mengetahui perbedaan derajat/keparahan kondisi buta warna tidak banyak dilakukan. Selama ini yang familiar kita lihat pada medical check up sebenarnya hanyalah pemeriksaan skrining untuk mengetahui status buta warna seseorang.
Sebelum maraknya tren dan perhatian akan tes buta warna, mungkin kita tidak pernah menyadari pentingnya penglihatan warna dalam kehidupan sehari-hari. Jarang juga terbayang bagaimana rasanya hidup bila sekeliling kita hanya berwarna hitam, putih, dan abu-abu.
Dalam istilah medis, itulah definisi sesungguhnya buta warna. Sedangkan, kebanyakan kasus gangguan penglihatan warna di masyarakat sebenarnya hanyalah "defisiensi penglihatan warna" atau yang biasa disebut sebagai buta warna parsial/sebagian.
Penderita buta warna parsial seringnya tidak merasa ada yang salah dengan penglihatannya. Saat melihat warna-warna tertentu yang dikeluhkan hanyalah sensasi kabur atau kurang jelas. Seperti misalnya, orang normal dan orang dengan defisiensi sama-sama melihat warna hijau hanya tidak dalam intensitas kecerahan yang sama. Sehingga orang dengan buta warna parsial mungkin cenderung kebingungan mempersepsikan warna hijau tersebut bila dikombinasi dengan warna-warna lain dan kemungkinan tertukarnya interpretasi warna menjadi sangat tinggi.
Kelainan ini, yang disebut dengan red-green color deficiency, adalah bentuk tersering dan terbanyak dari seluruh kasus buta warna. Gejalanya lebih ke arah ketidakmampuan mendiskriminasi warna dibanding ketidakmampuan melihat warna.
Buta warna merupakan penyakit turunan/genetik bersifat sex-linked terkait kromosom X. Tanpa perlu memusingkan definisi kedokteran, pada intinya, anda memang terpilih dan terlahir sudah dengan kondisi tersebut.