Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara terluas ke-14 sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah sebesar 1.904.569 km serta negara dengan pulau terbanyak ke-6 di dunia, dengan jumlah 17.504 pulau. Indonesia berbatasan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara dan Oseania. Indonesia berbatasan di wilayah darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan dan Sebatik, dengan Papua Nugini di Pulau Papua, dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara yang hanya berbatasan laut dengan Indonesia adalah Singapura, Filipina, Australia, Thailand, Vietnam, Palau, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar, India. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang berada di Asia Tenggara, dan terletak di antara 2 (dua) benua, yaitu benua Asia dan benua Australia/Oseania, serta di antara 2 (dua) samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara ini memiliki 17.504 pulau yang menyebar di sekitar khatulistiwa; sebanyak 16.056 pulau telah dibakukan namanya, dan sekitar 6.000 pulau tidak berpenghuni. Pulau-pulau besar yang berada di Indonesia yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan (berbagi dengan Malaysia dan Brunei Darussalam), Sulawesi, dan Papua (berbagi dengan Papua Nugini). Indonesia berada pada koordinat antara antara 6 04' 30" LU dan 11 00' 36" LS serta antar 94 58' 21" dan 141 01' 10" BT yang membentang sepanjang 5.120 kilometer (3.181 mil) dari timur ke barat serta 1.760 kilometer (1.094 mil) dari utara ke selatan. Luas daratan Indonesia adalah 1.916.906,77 km, sementara luas perairannya sekitar 3.110.000 km dengan garis pantai sepanjang 108 ribu km. Batas wilayah Indonesia diukur dari kepulauan dengan menggunakan teritorial laut 12 mil laut serta zona ekonomi eksklusif 200 mil laut,
Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas pulau besar dan kecil dalam jumlah banyak, yaitu 17.508 pulau. NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui dunia dengan Konvensi Hukum Laut PBB. Hal tersebut membuat Indonesia berbatasan dengan beberapa negara asing. Wilayah perbatasan tersebut meliputi perbatasan di daratan, lautan, dan udara. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kedaulatan atas wilayahnya dan hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya. Berikut adalah bunyi pasalnya "Sebuah wilayah negara atau NKRI adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya." Berdasarkan pasal tersebut, maka wilayah kedaulatan NKRI meliputi wilayah darat, perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya.
Selanjutnya, Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km. Laut ini berpotensi besar dan strategis karena sepertiga perlintasan laut berlalu lalang di sana. Laut ini juga memiliki kekayaan biota laut yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar. Laut China Selatan juga merupakan jalur lalu lintas paling penting bernilai ekonomis, politis, dan strategis di kawasan Asia Pasifik. Selain letak geografis dan sumber daya alam yang melimpah, kawasan ini berada di antara beberapa negara sehingga rawan terjadinya sengketa. Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan laut ini adalah Republik Rakyat Tiongkok (termasuk Makau dan Hong Kong), Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia, dan Vietnam. Sungai-sungai besar yang bermuara di Laut Tiongkok Selatan adalah Sungai Mutiara, Min, Jiulong, Merah, Mekong, Rajang, Pahang, Pampanga, dan Pasig. Sehingga mengakibatkan ketegangan di Laut China Selatan, ketegangan di Laut China Selatan memiliki sejarah panjang dan melibatkan banyak negara mulai dari Inggris, Perancis, Jepang, RRC hingga melibatkan Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan Taiwan. Persoalan ini berawal dari tuntutan RRC atas pulau-pulau di kawasan Laut China Selatan yang mengacu pada catatan sejarah. China mengeklaim Kepulauan Spratly dan Laut China Selatan sebagai wilayahnya bukan tanpa dasar. Bukti pertama berasal dari bukti arkeologis semasa Dinasti Han (206--220 Sebelum Masehi) yang menyebut telah menduduki wilayah Kepulauan Spratly. Sedangkan, menurut Vietnam, Kepulauan Paracel dan Spratly merupakan kedaulatannya berdasarkan peta Vietnam yang dibuat oleh Do Ba Cong Dao pada abad ke-17. Kepulauan Paracel di Vietnam disebut dengan Hoang Sa sementara Kepulauan Spratly disebut Truong Sa. Konflik kepentingan di Kawasan Laut China Selatan tak hanya terjadi antara RRC dan Vietnam, tetapi juga antarnegara yang saling berbatasan. Konflik multilateral di Laut China Selatan terjadi antara Filipina-Malaysia, Filipina-Taiwan, Filipina-RRC, Filipina-Vietnam, Malaysia-Vietnam, Malaysia-Brunei Darussalam, Taiwan-RRC, dan Indonesia-RRC.
Laut China Selatan memiliki arti yang strategis bagi negara Indonesia. Walaupun negara Indonesia bukan negara yang ikut menuntut klaim atas kepemilikan wilayah di Laut Tiongkok Selatan, namun posisi Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN harus membuat tindakan yang diambil Indonesia menjadi penting bagi kelanjutan konflik di Laut Tiongkok Selatan. Menurut Guru Besar Departemen Hubungan Internasional FISIP UNAIR, Profesor Dr. Makarim Wibisono : "konflik Laut Tiongkok Selatan ini mengandung 2 (dua) dimensi, yakni dimensi hukum yang berkaitan dengan kedaulatan; dan dimensi politik yang berkaitan dengan perdamaian dan keamanan." Dengan ini menegaskan posisi Indonesia dalam sengketa ini, Profesor Makarim Wibisono menjelaskan bahwa Indonesia adalah non claimant states atau negara tidak menuntut klaim atas Laut Cina Selatan. Indonesia juga memiliki hubungan baik dengan seluruh negara yang terlibat sebagai claimant staes, juga Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia juga menjadi target persuasi oleh Tiongkok maupun negara-negara lainnya. Untuk mengatasi ancaman ini, Indonesia perlu melakukan negosiasi dan dialog dengan China serta memperkuat klaimnya melalui hukum internasional dan kerjasama internasional. Selain itu, peningkatan kapasitas militer dan diplomatik serta kerjasama dengan negara-negara lain juga penting untuk menjaga kedaulatan di wilayah ini. Indonesia telah mengambil beberapa tindakan hukum dan diplomatik untuk menegaskan klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan, khususnya terkait Kepulauan Natuna dan sengketa maritim yang lebih luas dengan China.
Berikut ini adalah tindakan negara Indonesia terhadap ancaman kedaulatan Republik Indonesia, khususnya di Laut China Selatan adalah sebagai berikut :
1)Pada tanggal 23 Juni 2016 di atas Kapal Republik Indonesia Imam Bonjol yang berlayar di perairan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Presiden Joko Widodo secara simbolis memberikan sikap Indonesia terhadap kedaulatan di Laut Natuna. Rapat ini menegaskan pentingnya menegakkan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2)Pada 14 Juli 2017, Pemerintah Republik Indonesia merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada peta ini Laut Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Akibat perubahan nama sebagian ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara diprotes China melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri China kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam nota yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 2017 tersebut tertuang 3 butir sikap RRC yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama LNU. Namun, berdasarkan perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan China. Klaim China di LNU berlandaskan pada sembilan garis putus-putus yang sudah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA), sementara Indonesia bersandar pada UNCLOS.
Selanjutnya, berkaitan dengan ZEE (Zona Ekonomi Eksekutif) dan wilayah negara Indonesia sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :
1)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
2)Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara.