Lihat ke Halaman Asli

Transisi

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Transisi

Ini waktu yang kutunggu. Tak sekalipun inginku, melewati hidup dengan sia-sia dan tanpa makna. Ini waktu yang dinanti, karena aku hanya berteman sepi.

Setiap detik, kunikmati waktu mencari sesosok semu. Dalam sebuah peralihan, dalam transisi. Kubiarkan aku melarung dalam ketidakpastian. Satu-satunya teman hanya sepi dan masa transisi berhias kuning kelabu, mungkin sedikit jingga. Pada sore, pada sepertiga hari menuju bias petang dalam kurun waktu sekali sehari.

“Bagaimana bahagiamu, kemarin?” tanyamu pada suatu hari, memecah sepi yang telah kurasa pasti.

Aku tak menjawab, hanya tersenyum getir. Sisa-sisa hidup yang tercerabut mulai membias, larung lagi dan kandas lagi dalam satu inci hari, yang tak mau sia-sia terlewati.

Tiba-tiba, aku merasa perlu bicara, tentang bahagia, tentang semu yang kurasa ada.

“Bahagiaku tak ada bedanya. Hanya seperti sekarang, seperti saat ini. Kita duduk berdua dengan segelas kopi dinikmati bersama. Kau diam dan jangan banyak bicara. Tak henti memandang lepas kepada gulungan ombak yang berurai semburat jingga,” kataku sembari menunjuk ke arah lepas pantai yang tak pernah kutemui sisi satunya itu. Hanya ada kosong, hanya ada sepi.

Satu inci saja, satu detik saja, jangan ganggu hariku yang akan bahagia. Menyaksikan opera matahari yang ditelan sunyi. Mengubah jingga menjadi kelabu, berhias tirai bintang. Tak cukupkah kau untuk diam sejenak? Diam sajalah barang limabelas atau duapuluh menit. Temani aku di sisi kiri, dan aku di sisi kanan dengan bayangan. Aku perlu waktu, perlu hati untuk memahami bagaimana masa transisi. Sore bagiku, sebuah peralihan. Transisi hari yang hanya dapat dinikmati satu kali.

“Kau kan bisa melihat matahari terbit. Transisi itu sama saja,” katamu lagi.

Aku ingin memarahimu yang terus memaksaku menerima persepsimu tentang transisi, tentang sore, tentang semburat jingga yang tak bisa didapatkan dua kali dalam satu hari. Apakah kau tak tahu bedanya malam dengan pagi? Apakah kau tak tahu bedanya matahari pada pagi elegi atau senja hari?

“Kurasa kau lebih baik diam. Ini waktu yang sakral. Tak ada lagi yang begini di esok hari, mungkin saja. Jika jingga itu bisa kukerat, mungkin akan kulakukan dan kusimpan dalam kotak kaca yang rapat. Tapi, nyatanya aku tak bisa dan aku hanya ingin menikmatinya dengan istimewa,” kataku menjelaskan dengan sedikit emosi. Sudah cukuplah penjelasanku mengenai semunya hari. Semu hari ini hanya terbayar dengan bahagianya transisi matahari dalam satu hari.

Kau pun membisu, masih bertanya-tanya tentang aku yang begitu mengagumi masa transisi. Seakan-akan aku pasti mati esok pagi, aku tak akan melewatkan setiap detik menuju sore dan senja hari yang penuh teka-teki. Aku sendiri bahkan tak pernah tahu, kemana matahari tertelan bumi. Meski ilmu pasti dapat menggiringku pada jawaban yang paling hakiki, aku sendiri tak pernah ingin mengetahui.

Yang aku inginkan hanya satu, dapat menikmati transisi bahagia yang cuma satu kali sehari. Itu saja…

Pupan, 07 Juli 2012

11:44 PM, pada dialog dini hari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline