Lihat ke Halaman Asli

Ayu Tria Eka

Mahasiswa

Silent Treatment: Solusi atau Masalah?

Diperbarui: 18 Desember 2024   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Sebagai makhluk sosial yang tentunya selalu melakukan interaksi sosial, tidak jarang kita menemukan fenomena yang dikenal sebagai “silent treatment”. Situasi di mana seseorang dengan sengaja mengabaikan atau tidak memberikan respons terhadap masalah yang terjadi sebagai bentuk ketidaksetujuan atau ketidakpuasan. Hal ini sering dilakukan ketika emosi seseorang sedang memuncak, mereka menganggap silent treatment merupakan langkah yang tepat untuk menghindari konfrontasi langsung dengan cara menghentikan komunikasi verbal maupun nonverbal. Hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik dari individu yang merasa terluka hingga mereka yang menggunakan strategi ini sebagai alat kontrol emosi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah silent treatment merupakan solusi yang tepat untuk menghindari konflik, atau justru menambah masalah dalam hubungan interpersonal?

Jika kita kaitkan dengan komunikasi modern, relevansi silent treatment semakin dapat dirasakan dengan hadirnya teknologi digital, terutama dalam penggunakan emotikon. Emotikon dapat berfungsi sebagai alat komunikasi alternatif yang membantu meredakan ketegangan. Ketika seseorang memilih untuk tidak berbicara, mereka mungkin merasa kesulitan untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung, di sinilah emotikon berperan penting. Melalui platform digital, individu dapat menggunakan emotikon untuk menyampaikan perasaan mereka tanpa harus terlibat dalam konfrontasi langsung. Misalnya, seseorang yang marah mungkin hanya membalas pesan dengan emotikon seperti “...” (elipsis) atau “😑” (wajah tanpa ekspresi), yang menunjukkan sikap dingin tanpa harus berkata-kata. Emotikon ini menjadi cara untuk tetap terlibat secara minimal, sekaligus menegaskan adanya jarak emosional. Selain itu, emotikon juga dapat menjadi jembatan yang memungkinkan individu untuk tetap terhubung meskipun dalam keadaan diam. Namun, penggunaan emotikon dalam situasi ini juga dapat menimbulkan ambiguitas, di mana makna yang ingin disampaikan tidak selalu dipahami dengan baik oleh pihak lain.

Meskipun emotikon dapat membantu menyampaikan perasaan, mereka tidak selalu dapat menggantikan komunikasi verbal yang jelas. Ketika seseorang menggunakan emotikon untuk mengatasi silent treatment, ada risiko bahwa pesan yang ingin disampaikan tidak dipahami dengan baik oleh pihak lain. Misalnya, emotikon yang dimaksudkan untuk menunjukkan niat baik bisa saja ditafsirkan sebagai sarkasme atau ketidakpedulian. Dalam hal ini, emotikon dapat menjadi pedang bermata dua, yang berpotensi memperburuk situasi jika tidak digunakan dengan hati-hati. Oleh karena itu, meskipun emotikon dapat menjadi alat yang berguna, mereka tidak dapat sepenuhnya menggantikan dialog yang terbuka dan jujur.

Jika kita lihat dari perspektif semiotik pragmatis oleh Charles Sanders Peirce, silent treatment dan penggunaan emotikon dapat dianalisis sebagai tanda (sign) yang memiliki hubungan dinamis dengan objek dan interpretannya. Peirce membagi tanda menjadi tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Emotikon dapat dianggap sebagai simbol, di mana maknanya ditentukan oleh konvensi sosial dan konteks penggunaannya. Dalam situasi silent treatment, emotikon berfungsi sebagai tanda yang mencoba menjembatani kesenjangan komunikasi. Namun, untuk memahami makna emotikon tersebut, penerima harus memiliki pengetahuan dan konteks yang sama. Jika tidak, emotikon yang digunakan dapat kehilangan makna aslinya, menciptakan kebingungan dan ketidakpastian.

Mari kita kaitkan dengan contoh! Emotikon seperti “😑” berfungsi sebagai ikon yang menyerupai ekspresi wajah yang tenang dan dingin, mencerminkan keadaan emosional pelaku. Dalam konteks ini, emotikon tidak hanya menjadi representasi visual, tetapi juga indeks dari sikap diam yang disengaja, menandakan adanya masalah yang belum terselesaikan. Sebagai simbol, silent treatment dan emotikon memiliki makna yang lebih kompleks karena bergantung pada konteks sosial dan budaya penggunaannya. Misalnya, dalam budaya tertentu, sikap diam dianggap sebagai bentuk menghargai atau menghindari konflik terbuka. Namun, dalam budaya lain, hal ini dapat ditafsirkan sebagai tindakan pasif-agresif atau bahkan manipulatif. Interpretan –yakni pihak yang menerima pesan tersebut– harus memahami tanda-tanda ini berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka, yang sering kali menghasilkan interpretasi yang beragam.

Peirce juga mengaitkan semiotika dengan pragmatisme, yang menekankan bagaimana tanda berfungsi dalam praktik sehari-hari. Dalam konteks silent treatment, emotikon berperan sebagai alat komunikasi pragmatis yang digunakan untuk mengekspresikan emosi tanpa kata-kata. Namun, efektivitasnya bergantung pada respons penerima. Jika penerima memahami tanda tersebut sebagai ajakan untuk introspeksi, maka silent treatment mungkin dapat mendukung resolusi konflik. Sebaliknya, jika tanda tersebut dianggap sebagai bentuk pengabaian atau manipulasi, maka dampaknya justru memperburuk relasi interpersonal.

Analisis semiotik pragmatis juga menunjukkan bahwa penggunaan emotikon dalam silent treatment menciptakan kontradiksi antara maksud dan hasil. Pelaku mungkin berniat menjaga jarak untuk menenangkan diri, tetapi interpretasi tanda-tanda ini oleh pihak lain sering kali memperkuat perasaan ditolak atau diabaikan. Hal ini mengungkapkan bagaimana silent treatment tidak hanya menjadi pelarian konflik, tetapi juga menciptakan lapisan konflik baru yang lebih sulit diurai.

Kesimpulannya, silent treatment sebagai bentuk pelarian konflik lebih cenderung menjadi masalah daripada solusi. Dari perspektif semiotika pragmatis, fenomena ini mengilustrasikan bagaimana tanda-tanda seperti emotikon digunakan untuk menyampaikan pesan tanpa kata-kata, tetapi sering kali menghasilkan interpretasi yang ambigu dan membingungkan. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memahami bahwa keheningan, meskipun tampaknya aman, bukanlah jalan keluar yang ideal dalam menyelesaikan konflik. Sebaliknya, komunikasi terbuka dan transparan adalah kunci untuk membangun hubungan yang sehat dan saling menghormati. Akhirnya, pertanyaannya adalah: Apakah kita akan terus memilih keheningan yang memisahkan, atau berani mengambil langkah untuk berbicara dan menyembuhkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline