Lihat ke Halaman Asli

Ayu Sulastri

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

The Filter Bubble dan Echo Chamber Dapat Membentuk Personalisasi Pengguna Media Sosial

Diperbarui: 1 Januari 2022   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

The Filter Bubble dan Echo Chamber dapat Membentuk Personlisasi Pengguna Media Sosial Menggunakan Teknologi Algoritma

Merujuk pada kalimat Marshall McLuhan terkait tools atau alat yang diciptakan manusia, pada dasarnya alat digunakan untuk mempermudah manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Namun pada kenyataanya saat ini, alat yang diciptakan manusia justru mengikat dan membelenggu kehidupan manusia itu sendiri. Alat yang dimaksud pada pembahasan kali ini adalah internet dan media sosial, yang awalnya betujuan untuk membantu serta mempermudah manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari, malah sebaliknya menjadi candu yang menghantui kehidupan manusia.

Filter bubble merupakan keadaan dimana informasi yang muncul di media sosial seorang pengguna seragam. Hal ini disebabkan oleh filter algoritma media sosial menyaring informasi-informasi yang ada dan hanya memunculkan informasi yang sesuai dengan preferensi pemilik media sosial tersebut. Filter bubble merupakan suatu fenomena penyortiran dan seleksi informasi oleh algoritma berdasarkan pertimbangan kecocokan, relevansi dan preferensi. Secara singkat, filter bubble ini adalah isolasi informasi berdasarkan ketertarikan netizen dan memberikan saran berdasarkan perhitungan asumsi dari ketertarikan tersebut. Konten yang muncul berulang-ulang di layar gadget netizen tersebut lama-kelamaan akan menginternalisasi keyakinan atas substansi konten tersebut sebagai sebuah kebenaran, meskipun status keyakinan tersebut masih berada pada titik abu-abu bahkan salah sekalipun.

Filter gelembung atau filter bubble dapat memperkuat hasrat penggunannya tentang suatu hal yang ingin mereka ketahui. Karena itu tanpa disadari pengguna terjebak dalam wilayah gelap yang tidak mereka ketahui. Filter gelembung menyediakan ruang berdasarkan hasrat atau keinginan pengguna sosial media untuk mendapatkan informasi yang mereka inginkan saja. Sebagai contoh, jika pengguna sosial media tersebut menyukai informasi tentang olehraga, maka seluruh informasi tentang olahraga akan muncul dari seluruh sosial media atau search engine yang mereka gunakan.

Menurut penelitian, kesalahpahaman dalam menyimpulkan informasi dipengaruhi oleh keterbatasan individu dalam berelasi dengan individu lain dalam ekosistem digital (Wisnuhardana, dalam Sugiana 2019). Kesalahpahaman dalam menyimpulkan atau memaknai informasi dapat berakibat buruk bagi pengguna internet tersebut. Seperti yang sering kita dengar tentang kasus hoax dan ujaran kebencian belakangan ini. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus maka pemberitaan palsu atau hoax akan terus tersebar dan mengakar. Oleh karena itu, sangat diperlukan masyarakat dan pengguna internet yang cerdas dalam memanfaatkan teknologi digital.

Seperti penjelasan di atas, algoritma sangat mengatur dunia penggunanya, mereka yang memutuskan apa saja yang akan kita lihat dan memastikan kita hanya terpaku dengan apa yang kita lihat pada relevanasi. Algoritma juga memastikan bahwa mereka menunjukkan kepada kita hal-hal nyaman berdasarkan sudut pandang kita. Teknologi algoritma akan memberikan informasi serupa secara terus menurus oleh berbagai aplikasi kepada user kembali, proses itulah yang akan membentuk ruang bergema atau echo-chamber.  Aktivitas tersebut akan membentuk personalisasi dari user seperti minat khusus, niat membeli, dan pola prilaku. Sehingga pengguna merasa media sosial menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhannya secara lebih efektif dan efisien. 

Contohnya seperti User yang memanfaatkan aplikasi media sosial instragram, Facebook, Twitter, Tiktok dan Online Shopping yang kemudian menggunakannya untuk click, like, share dan posting merupakan data awal yang digunakan teknologi algoritma untuk membentuk pola digital. Pola digital secara terus menurus akan membentuk filter bubble, echo chumber, dan algoritma personalisasi. Dengan teknologi algoritma, aplikasi-aplikasi media sosial tersebut akan selalu dan berkesinambungan memberikan informasi sesuai dengan keinginan user, seperti informasi yang relevan, penting, nyaman, memberikan tantangan, dan informasi berdasarkan sudut pandang penggunanya.

Fenomena ini cenderung mendorong user atau netizen "terkumpul" pada satu lingkaran dengan pemahaman yang sama, satu gelembung informasi yang sama. Seluruh pembicaraan netizen ditujukan kepada orang-orang yang sepertinya. Hal ini disebut dengan homofilia. Filter bubble dengan algoritmanya mampu untuk mengumpulkan seorang netizen dengan netizen lainnya sesuai dengan nilai dan suara yang sama dengan information streams milik netizen tersebut (Lotan, dalam Sugiana 2019). Hal ini kadang tanpa sadar diterima oleh netizen karena memang manusia cenderung berinteraksi secara intensif dengan orang yang memiliki preferensi sama dengan dirinya.

Maksudnya, ketika seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, maka kemungkinan ia untuk berlarut-larut dalam pandangannya sendiri sangat besar. Hal itu dikhawatirkan akan membuatnya mendefinisikan dunia hanya dari satu sudut pandang saja. Misalnya seseorang yang dicekoki informasi tentang bahayanya pemikiran tertentu, maka ia akan mengingkari eksistensi gagasan lain. Sehingga terjadi kecenderungan terhadap satu pemikiran dan menimbulkan fanatik. Hal itu akan merujuk pada individu-individu yang merasa pemahamannya yang antikritik. Eli Pariser menyebut dampak ini dengan istilah Filter Bubble, alias Gelembung Saringan. "Sebuah dunia yang dibangun dari kesamaan (familiar), adalah tempat kita tak bisa belajar apa pun," katanya. Selain itu, gelembung saringan ini juga menciptakan pendapat yang salah. Akibat informasi seragam yang diperoleh, seseorang punya kecenderungan untuk mengklaim orang lain sepaham dengan dirinya, dan menyimpulkan pendapatnya adalah kesimpulan mayoritas. Padahal, di tempat lain, yang terjadi bisa saja berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline