Lihat ke Halaman Asli

Selamat Anies-Sandi, Terima Kasih Ahok-Djarot

Diperbarui: 20 April 2017   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Liputan6.com

Alhamdulillah pertunjukkannya sudah hampir selesai. Silahkan menarik nafas panjang. Hembuskan...

Bukannya mau memulai narasi ini dengan nuansa negatif, namun ini opini jujur saya. Ini adalah salah satu pertunjukan politik yang lumayan memuakkan, dengan manuver yang tidak cantik, dari dua pihak, yang memberi tamparan bagi kesadaran saya.

Bahwa sebenarnya bangsa ini belum dewasa.
Bahwa segala hal di negara ini masih terpusat di Jakarta dan segala hiruk pikuknya, bahwa isu SARA masih sangat mudah menggoyang logika dan kepekaan hati.

Hanya orang naif yang menyangkal rona agama dan etnis yang menyembul ini tak berhubungan.
Bahwa isu penodaan agama semata-mata terkait dengan posisi Ahok yang sangat kuat sebelumnya di posisi petahana.
Hanya dengan isu inilah ia mampu dicabut. Sehingga memunculkan persepsi, siapapun gubernurnya tak masalah asal satu agama dan satu etnis.

Ijinkan saya bercerita bagaimana saya dibesarkan, mungkin sedikit berhubungan mungkin juga tidak. Saya bukan dari kalangan beragama ketat, tapi orang tua saya meminta saya mengaji dari SD agar saya mendapatkan pendidikan agama yang tidak mampu diberikan di rumah. Saya mengaji pun tidak ketat, dengar dari beberapa jenis ustad dengan aliran yang gonta-ganti. 

Kalau diingat-ingat ceramah mereka sering menyinggung tentang agama lain, jangan naif anda pasti mengalaminya. Tapi saat itu saya merasa tak masalah, karena saya tak kepikiran. Tapi ternyata kalau posisinya dibalik, kok reaksinya sampai jumpalitan begitu ya orang-orang. Apakah kita telah menjadi hipokrit?

Saya jadi ingat perkataan teman saya yang beda agama dalam sebuah diskusi santai, "Kamu sih nggak tahu gimana rasanya jadi minoritas." Rupanya ia sejak kecil mengalami diskriminasi, sengaja tak sengaja meski tak terlalu kentara tapi terasa dan masih terbawa di ingatan.

Pernyataannya menohok saya di dalam hati. Ketika itu saya kurang melihat dari sudut pandang orang lain, orang dengan posisi berbeda dari keadaan saya. Saat itu pula saya berjanji akan membuat pikiran saya lebih terbuka. Ibarat pepatah, pikiran itu seperti parasut. Kalau tak terbuka tidak akan berfungsi.

Kembali ke persoalan politik. 

Padahal gara-gara pagelaran pemilihan presiden tahun 2014 lalu, saya sempat antusias lihat pergerakan politik tanah air. Karena orang-orang dengan kinerja baik dihargai dan isu-isu murahan dapat diurai dengan diskusi.

Beda sekali nuansanya dengan pagelaran pilgub Jakarta yang menjadi pusat pemberitaan media seluruh negeri. Dimana ketika saya mencoba berdiskusi dengan orang diluar zona nyaman saya, selalu yang muncul adalah isu agama. Saya maunya berdiskusi tentang kinerja dan siapa saja orang dibelakang meja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline