Lihat ke Halaman Asli

Harimau Sumatera, Kucing Besar Terakhir Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Oleh: Ayu Sri Darmastuti

“Kami melihat jejak besarnya di sekitar bangkai Kijang. Tak pikir panjang, meninggalkan rimbunan tepi danau sesegera mungkin adalah ide yang bagus.”

Salah seorang teman bercerita tentang penemuan bangkai Kijang sebesar dirinya, nampaknya telah mati lebih dari dua hari, saat mengunjungi Danau Cermin dalam perjalanan ke Taman Nasional Kerinci-Seblat, Jambi. Pergi adalah ide yang bagus namun ia belum mau meninggalkan tempat tersebut karena rasa penasaran. Bahkan di malam hari ia benar-benar mendengar suara auman dan sekelibat tubuh loreng besarnya bersembunyi diantara belukar. Seekor harimau sedang mengawasi.

Tanpa sadar rupanya dia telah menarik perhatian seekor Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), salah satu dari tiga sub-spesies harimau di Indonesia. Berinteraksi dengan harimau adalah persitiwa langka. Bukan karena kucing ini pemalu, tapi kamuflase terbaik melalui warna loreng hitam-kuning kulit untuk menyembunyikan diri sangat menyatu dibalik rimbunan hutan tropis. Langkah kakinya tidak terdengar akibat adanya bantalan halus di tiap telapak kaki. Keberadaan harimau hanya bisa dirasakan melalui desis derak aumannya.

Kucing besar ini ditakuti akan kemampuan menyergap mangsanya yang bisa saja manusia. Sebenarnya perbandingan angka penyerangan harimau terhadap manusia terbilang rendah, bila saja dibandingkan dengan banyaknya orang lalu-lalang di hutan, tapi tetap saja manusia kerap berkonflik dengan mamalia ini. Kasus yang terjadi umumnya berkaitan dengan penyerangan ternak atau kehebohan akibat harimau turun ke perkampungan di sekitar hutan.

Harimau seekor binatang penyendiri dengan jangkauan wilayah penjelajahan seluas sepuluh kilometer persegi hutan. Seekor pejantan muda akan melakukan suksesi, tantangan bertarung untuk memperebutkan wilayah, dengan pejantan tua lain. Bila gagal, ia mencari tempat lain untuk dijelajahi, hal yang menjadi penyebab mengapa kucing besar ini turun gunung. Pengurangan luas hutan tidak sebanding dengan wilayah yang dibutuhkannya untuk makan, mencari pasangan, membesarkan anak, bahkan bergerak.

Jangan pernah meragukan fungsi ekologis dari suatu komponen ekosistem. Kehilangan satu mata rantai jelas merusak jalinannya dengan yang lain. Begitu pula harimau yang memiliki fungsi ekologisnya sendiri. Selain sebagai salah satu khasanah kekayaan tingkat biodiversity, keberadaan harimau juga berfungsi sebagai pengendali ekologis untuk beberapa hama, seperti babi hutan. Harimau termasuk kedalam hewan yang berada di puncak rantai makanan.

Sub spesies selain Harimau Sumatra di Indonesia adalah Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica), dua harimau bercatatan resmi “punah”.Kebanyakan dari mereka mati akibat perburuan manusia bahkan sebelum satu abad yang lalu. Panthera tigris balica terakhir ditembak mati pada tahun 1925 di Sumbar Kima, Bali Barat. Pada 27 September 1937, ia dinyatakan punah. Sedangkan Panthera tigris sondaica secara resmi berstatus “extinct” pada tahun 1980-an.

Dalam tradisi masyarakat Jawa dengan kearifan lokalnya, harimau adalah binatang yang dihormati. Binatang ini disebut “mbahe” atau berarti sang kakek. Ada juga yang menyebutnya “kiai”, sebutan untuk orang yang dihormati. Namun masa penjajahan kolonial Belanda membawa tradisi perburuan yang parah. Mereka memperkenalkan adu macan. Budaya yang dibawa dari tradisi bangsa romawi layaknya gladiator. Harimau dikepung pasukan bertombak kerajaan hingga mati dan dikenalah saat ini tradisi gropyokan macan.

Bahkan sejak era kekuasaan Kolonialisme Belanda, hutan telah dikalahkan demi kepentingan lain seperti perkebunan dan pertambangan. Hal yang terus berlanjut hingga luas hutan tak lagi mencukupi untuk menyokong kehidupan sang pemangsa. Maka tak hanya saja diburu, ia juga mengalami masalah kehilangan tempat tinggal dan sumber makanan yang membuatnya semakin terpojok.

Diperkirakan jumlah harimau Sumatra saat ini paling banyak tinggal 300 ekor dari seluruh 3200 populasi harimau dunia. Angka yang sedikit bila anda ingin membandingkannya mungkin dengan jumlah mobil di Jakarta yang mencapai tiga juta atau jumlah 6,7 miliar manusia pada tahun 2012. Diperkirakan dengan laju kerusakan hutan habitatnya saat ini, hariamau Sumatra bisa punah dalam jangka waktu sepuluh tahun ke depan.

Meskipun banyak perdebatan mengenai penampakan oleh penduduk lokal yang mendengar dan melihat loreng hitamnya, namun tetap belum ada bukti yang cukup untuk mengingkari kepunahan dua sub-spesies yang lain. Yang saat ini kita ketahui keberadaan kelompok subspesies terakhirnya di Indonesia adalah Harimau Sumatra. Lalu apakah akan kita biarkan kucing besar ini juga mengalami nasib yang sama?

*Mahasiswa jurusan Biologi 2008

anggota mahasiswa pecinta alam MPA Jonggring Salaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline