Lihat ke Halaman Asli

Belajar Bisnis dari Pak Yatin

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pikir tak ada satupun di antara kita yang beranjak besar tanpa sekalipun membeli (atau dibelikan, waktu masih kecil) makanan dari pedagang keliling. Di waktu saya kecil, ada satu pedagang bakso keliling yang jadi langganan keluarga kami. Pak Yatin namanya. Selain rasanya super nikmat, harganyapun masih sangat terjangkau. Pak Yatin juga ramah, sehingga tak mengherankan jika bukan cuma keluarga kami yang jadi pelanggan tetapnya.

Ada sebuah cerita menarik tentang pak Yatin ini. Suatu kali ada yang mengadakan pesta dan ingin memborong baksonya, tetapi ia tidak mau. Alasannya? Pak Yatin memikirkan “perasaan” calon pembeli yang lain seandainya baksonya habis saat itu juga.

Pada waktu ditanya lebih lanjut, bagaimana jika calon pembeli yang dia “kasihani” ternyata tak jadi membeli baksonya sehingga tak habis terbeli, pak Yatin hanya menjawab, bahwa itu berarti bukan rezekinya. So simple.

Ya, bagi kita yang berdagang untuk mencari keuntungan, tentu jawaban pak Yatin itu terasa naif. Lagipula, bukankah dengan diborong habis itu juga bisa dibilang rezekinya? Ah, pak Yatin sebenarnya hanya beretorika kalau soal rezeki tadi. Ada sebuah nilai yang lebih “rohani” daripada sekedar rezeki atau bukan rezeki.

Pak Yatin sebenarnya ingin mengatakan, bahwa ia tak berjualan untuk memuaskan diri sendiri lewat keuntungan singkat, tetapi untuk memuaskan pelanggan, meskipun itu berarti melewatkan peluang keuntungan yang ada di depan mata.

Namun, justru di situlah prinsip pak Yatin yang patut kita teladani ketika menjalankan usaha. Pertama, dengan mengutamakan kepuasan pelanggan, pak Yatin selain “memegang ekor” para pelanggannya, juga menjadikan mereka sebagai “pemasar gratis” untuk produknya. Saya selalu percaya dengan prinsip “pelanggan yang puas adalah pemasar (gratis!) yang setia.”

Kedua, kita bisa bayangkan seandainya calon pembeli berkali-kali “dikecewakan” dengan ketidakhadiran pak Yatin akibat diborong pembeli sebelumnya, maka lambat laun mereka akan “berpaling ke lain hati.” Padahal, belum tentu si pemborong akan rutin memborong baksonya, kan? Keuntungan sekejap hari itu bisa berdampak pada kelangsungan hubungan penjual-pelanggan di masa mendatang.

Baru-baru ini, ada berita yang mengejutkan tentang bagaimana sebuah maskapai penerbangan bertaraf nasional gagal take off karena pintu daruratnya dibuka paksa oleh penumpang, yang selain kelelahan karena menunggu terlalu lama di dalam pesawat, juga kepanasan dan sesak nafas akibat sistem pendingin yang tak diperbaiki—hanya karena ingin menghemat ongkos perbaikan sebesar Rp 1,1 juta! Insiden ini memperpanjang daftar keluhan terhadap maskapai ini, yang dikenal buruk karena penundaannya.

Peristiwa di atas baru satu dari mungkin ribuan contoh perusahaan-perusahaan, besar maupun kecil, yang tak lagi menempatkan kepuasan konsumen di atas pengejaran laba. Padahal, prinsip dasar kapitalisme sesungguhnya adalah empati untuk saling memenuhi kebutuhan, bukan pengabaian manusia lain demi meraup keuntungan sebesar mungkin.

Ah, nampaknya kita masih harus belajar banyak mengenai bisnis dari pak Yatin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline