[caption id="" align="alignright" width="384" caption="baret merah/blogspot.com"][/caption] Kopassus. mungkin tujuh dari sepuluh anak laki-laki di negeri ini pernah bercita-cita untuk menjadi bagian dari korps baret merah itu. siapa sih, yang tidak ingin memperkenalkan dirinya sebagai salah satu prajurit di satuan elit tentara? siapa pula warga negara yang tidak bangga memiliki pasukan khusus dengan prestasi pengakuan tiga besar terbaik sedunia (setelah sas-nya inggris dan mossad-nya israel)? itu sebabnya, agak mengherankan bagi saya, jika seorang prajurit kopassus bisa tewas di tangan empat pria di sebuah kelab malam, sementara standar kecakapan bertarungnya minimal adalah satu lawan lima. mungkinkah pada waktu itu sang sertu sedang tidak dalam kesadaran penuh? hanya dugaan saja, tapi semoga tidak meleset jauh. yang tak kalah mengherankan adalah tindakan sembrono dari rekan-rekan sepasukan korban yang menerobos masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan kemudian menembaki hingga tewas para tersangka pengeroyok dan pembunuh sang sersan. bukan saja sebelas orang prajurit kopassus itu terlalu banyak untuk membobol lapas sekelas cebongan, namun lebih daripada itu, mereka yang mengabdi pada negara justru mengintimidasi sesama pengabdi negara (baca: sipir lapas cebongan) dan melecehkan kewibawaan lembaga negara, yakni lapas cebongan. menurut saya, akan jauh lebih ‘cetar membahana’ seandainya mereka, karena semangat kecintaan yang tinggi terhadap bangsa dan negara, menyerbu lapas sukamiskin, di mana para koruptor yang menggarong dan membunuh rakyat, kemudian menghabisi mereka semua—karena proses peradilan bagi koruptor dirasa menciderai amanat penderitaan rakyat. sayangnya,penyerbuan itu cuma ditujukan ke lapas cebongan, hanya untuk menghabisi nyawa orang-orang yang telah menewaskan rekan mereka. apakah empat tahanan yang tewas itu membahayakan masyarakat jika kelak bebas? mungkin saja. tapi bukankah ke-31 penghuni lainnya juga memiliki potensi serupa? dan bukankah ada ribuan preman yang ditahan di lapas-lapas yang tersebar di penjuru nusantara, yang berpotensi pula untuk membahayakan masyarakat ketika bebas nantinya? mengapa hanya lapas cebongan dan sel a5 dan keempat penghuni itu saja yang disasar? jika hendak membasmi premanisme, mengapa tidak sedari dulu menyerbu lapas-lapas yang lain? ada ksatria dari negeri dongeng yang justru memuji kesebelas oknum itu sebagai orang-orang yang berjiwa ksatria, hanya karena mau mengakui perbuatan mereka dan siap menerima sanksi yang akan diterima. jika standar ksatria seperti itu, maka bisa dipastikan bahwa para narapidana yang saat ini mendekam di lapas-lapas lebih berjiwa ksatria karena bukan saja telah mengakui perbuatan mereka, mereka juga telah dan sedang menjalani sanksi bagi mereka. ada pula yang berupaya memaklumi tindakan kesebelas orang itu dengan mengutip istilah keprajuritan seperti jiwa korsa dan sebagainya. pertanyaannya adalah, sejauh manakah jiwa korsa dapat diterapkan untuk memaklumi sebuah tindak kejahatan penghilangan nyawa manusia? adakah membalaskan kematian rekan sepasukan karena didasari perasaan senasib sepenanggunan dapat dibenarkan dalam konteks keadaan damai, alias bukan dalam keadaan perang? lagipula, jika mereka adalah benar-benar prajurit sejati, tentu tidak akan gegabah bertindak sendiri tanpa perintah atasan. kita tahu betul, bahwa sistem komando di dalam ketentaraan itu sangat tegas dan jelas, apalagi ini pasukan elit, pasti tidak main-main. mengapa sistem komandonya tegas? karena tanggung jawab ada di pundak atasan. jadi jika hasil penyelidikan sementara adalah mereka bertindak secara spontan (walaupun sempat membuat surat perintah palsu dan terjadi tiga hari setelah kejadian), yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah para atasan masih memiliki wibawa di hadapan anak buah mereka atau tidak, sampai-sampai ‘kecolongan’ dengan tindakan main hakim sendiri tersebut. kalau benar para atasan (yang awalnya membuat pernyataan di media massa bahwa tidak mungkin oknum kopassus pelakunya) kecolongan, tentu ini merupakan sinyal keroposnya kepemimpinan dalam tubuh tentara kita. semoga bukan sebaliknya yang terjadi, para atasan tahu dan memberikan perintah atau restu terhadap rencana penyerangan itu, namun berpura-pura tidak tahu-menahu di hadapan media. menurut hemat saya, kesebelas orang itu tidak mengamalkan sikap ksatria ataupun jiwa korsa. mereka hanya tidak bisa menerima kematian rekan sepasukan mereka, sehingga jiwa mereka yang tadinya korsa tiba-tiba menjadi korslet. pet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H