Lihat ke Halaman Asli

Gitu Aja Kok Repot

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Gitu aja kok repot.” Tentu kita semua langsung teringat dengan sosok bapak bangsa (yang saya rindukan), Gus Dur. Celetukan itu tentu saja tidak dimaksudkan untuk menggampangkan segala sesuatu, akan tetapi saya melihatnya lebih sebagai sindiran kepada perilaku sebagian politisi yang suka membuat hal yang sederhana menjadi rumit.

Menurut Yenny Wahid, putri mendiang Presiden ke-4 tersebut, ungkapan “gitu aja kok repot” merupakan cara Gus Dur untuk menyebut sebuah ungkapan Arab, “Yasir Wa La Tuasir,” yang artinya “Permudah dan jangan dipersulit.” Maksudnya, birokrasi adalah medium untuk menolong rakyat (terutama yang miskin) agar tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Salah satu contoh yang terpikir oleh saya adalah program asuransi kesehatan untuk seluruh masyarakat Belitung Timur (bukan hanya yang miskin—pen) yang diluncurkan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Ahok. Dengan program asuransi tersebut, yang sebagian pendanaannya didapat dari pemangkasan perjalanan-perjalanan dinas yang mahal dan tidak perlu, tidak ada lagi kasus mengenai orang miskin yang dipersulit dalam memperoleh layanan kesehatan, karena asuransi kesehatan tersebut mencakup seluruh warga Belitung Timur. Sementara itu, di daerah-daerah lain, kita cukup sering mendapati berita-berita tentang orang-orang miskin yang harus bersusah payah mengurus segala macam katebelece dan akhirnyapun diabaikan oleh pihak RS.

Gitu aja kok repot, tidak dimaksudkan bahwa pemangku amanah boleh bersantai-santai dan tidak mau direpotkan oleh masyarakat, tetapi sebaliknya, para pejabat publik harus mau merepotkan diri mereka agar rakyat terlayani dengan baik dan maksimal. Contoh di Belitung Timur, Ahok yang di kala itu menjabat sebagai Bupati memerintahkan agar semua perjalanan dinas yang mahal dievaluasi dan dikurangi di mana perlu. Pemangkasan “kenikmatan” pejabat, kalau boleh saya bilang, demi penyejahteraan masyarakat. Sekali lagi, birokrasi tidak semestinya dipakai untuk membingungkan dan merepotkan banyak orang agar tercipta peluang suap, namun sebaliknya, birokrasi semestinya dikelola seefektif mungkin untuk mempermudah segala urusan masyarakat dan meminimalkan ruang untuk suap-menyuap.

Pejabat publik yang tidak mau “merepotkan diri” (baca: bekerja keras tanpa pamrih) tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Paling banter, yang dilakukan adalah memindahkan masalah ke tempat lain atau mengalihkan permasalahan ke permasalahan yang lain. Pengalihan isu, istilah umumnya. Pejabat publik yang tidak mau repot cenderung merepotkan rakyat; dan kalaupun tidak merepotkan secara langsung, ia tidak akan peduli dengan kemaslahatan mereka.

Simak saja pernyataan Kapolri, Timur Pradopo, yang dengan entengnya berkata bahwa yang paling gampang untuk dilakukan dalam mengatasi konflik di Sampang adalah dengan merelokasi penduduk yang beraliran Syiah. Tak perlu repot-repot mendamaikan yang berkonflik, cukup pindahkan saja salah satu pihak ke tempat terpisah, maka konflik akan mereda dengan sendirinya, demikian mungkin pikir Kapolri. Tapi, itu pemikiran yang salah kaprah, kalau tidak boleh dikatakan sesat. Di mana-mana, langkah penyelesaian masalah adalah rekonsiliasi, dan bukan relokasi.

Jika tidak sanggup menjadi mediator, Kapolri bisa saja menunjuk orang atau lembaga terpercaya yang sekiranya bisa membantu terwujudnya rekonsiliasi di dalam masyarakat. Bukankah kita punya pak Jusuf Kalla, misalnya, yang (ironisnya—karena waktu itu belum terjadi konflik Sampang) sedang menangani Rohingya?

Tentu masih ada contoh-contoh lain selain Kapolri, semisal bagaimana Gubernur DKI lebih memilih untuk menganjurkan perempuan berbusana tertentu untuk tidak naik kendaraan umum daripada meningkatkan keamanan di wilayahnya, atau Presiden yang tidak mempersiapkan pidato sesuai kondisi audiens dan merasa terganggu ketika ada audiens anak yang tertidur di tengah pidatonya.  Jika seorang pejabat publik tidak mau merepotkan dirinya untuk melayani dan mengayomi masyarakat, untuk apa pula jabatan itu dipertahankannya—seandainya ia memiliki rasa malu seperti pejabat-pejabat di mancanegara?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline