Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Naik KA Ekonomi ke Semarang

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semalam, saya bersama istri mencoba cara baru untuk pulang ke Semarang, kampung halaman kami: naik kereta kelas ekonomi. Biasanya, kami menggunakan jasa transportasi bus antar kota untuk mengadakan perjalanan yang cukup jauh tersebut (jarak Semarang-Jakarta sekitar 600 kilometer).

Saya sudah membeli tiket kereta jauh-jauh hari sebelumnya, dan memang sengaja memilih tanggal libur awal puasa, karena lebaran nanti, kami tidak akan mudik, sama seperti tahun kemarin. Saya beli tiket di stasiun Tanah Abang yang antriannya tidak panjang. Setidaknya, tidak sepanjang antrean di stasiun Pasar Senen. Harganya murah, per lembar tiket saya cukup membayar tiga puluh tiga ribu lima ratus rupiah. Plus seribu rupiah, entah untuk apa, karena untuk dua tiket, saya diminta membayar Rp 68 ribu.

Dan, hari yang dinantikan pun tiba. Kami mendapat tempat duduk di gerbong pertama (setelah lokomotif), kursi nomor 10C dan 10D. Kursi di kereta ekonomi cukup nyaman, hanya memang agak ekonomis, alias berdesakan, hehehe.... Sama seperti bus, kursi kereta ekonomi ternyata juga berformasi 3-2, yakni 5 penumpang per deret, 3 penumpang di satu sisi dan 2 penumpang lagi di sisi lainnya. Nah, nomor 10C dan 10D itu ternyata tidak satu kursi, tetapi dipisahkan oleh lorong. Untungnya, kursi 10E tidak terisi, jadi kami bisa duduk bersebelahan.

Pukul 21.40, kereta kami berangkat. Di depan kami, ada dua dari rombongan empat orang Medan yang hendak mengunjungi teman mereka di Jogja. Mereka kehabisan tiket ke Jogja, jadi memutuskan untuk transit di Semarang. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan, karena kaki tidak bisa leluasa digerakkan. Di dalam perjalanan tersebut ada banyak penawaran, alias pedagang yang bekeliling menjajakan berbagai barang, mulai dari makanan-minuman, baju, hingga gunting kuku.

Karena kami naik kereta kelas tiga, kereta kami seringkali harus berhenti sejenak karena memberikan kesempatan kepada kereta-kereta kelas satu dan dua untuk lewat terlebih dahulu. Namanya juga kelas tiga. Lagipula, bukankah yang besar memang harus mengalah? Hehehe.... Alhasil, perjalanan kami menjadi sedikit lebih lambat, namun tidak mengapa, karena kami bisa menikmati apa yang tidak bisa dinikmati penumpang kereta api kelas satu dan dua: pemandangan laut di daerah Batang-Kendal di pagi hari. Kalau naik kelas Bisnis atau Eksekutif, matahari belum muncul ketika melewati daerah itu.

Sekitar pukul setengah delapan pagi, kami tiba di stasiun Poncol Semarang. Sepertinya itulah kali pertama saya menginjakkan kaki di stasiun tersebut, karena biasanya saya berangkat atau pulang dari stasiun Tawang Semarang karena menaiki kereta kelas Bisnis. Ini sebuah keuntungan juga, karena kami tak perlu repot mencarin angkutan umum pada jam-jam itu.

Sebuah perjalanan yang cukup seru. Salah satu dari sekian pelajaran yang saya petik dari pengalaman itu adalah, tak peduli betapa sulit dan meletihkan sebuah perjalanan, hati kita akan selalu gembira jika itu dilalui bersama orang-orang yang kita cinta. Hal yang sama mungkin berlaku pula dalam perjalanan hidup kita semua. Yang menentukan kegembiraan kita dalam menjalani kehidupan sesungguhnya bukanlah popularitas, kenyamanan, ataupun materi, melainkan orang-orang yang kita cintai dan tulus mencintai kita.

Nah, saya sudah membuktikan diri rela naik kereta kelas ekonomi, apakah saya sudah memenuhi kualifikasi menjadi pejabat tinggi di negeri ini? :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline