Lihat ke Halaman Asli

Stephen Chow, Anas Urbaningrum, dan Tiang Gantungan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stephen Chow Lawyer Lawyer/ecrater.com

[caption id="" align="alignright" width="300" caption="Stephen Chow "][/caption] Salah satu kata yang populer akhir-akhir ini adalah "gantung," bukan karena lagu Melly Goeslaw yang berjudul sama jadi hits lagi, tapi karena pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Anas Urbaningrum (AU), Ketum Partai Demokrat, terkait berbagai tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Saya ingat pernah menonton film berjudul "Lawyer Lawyer" yang dibintangi oleh salah satu aktor kesukaan saya, Stephen Chow. Dalam film itu, Chow berperan sebagai seorang pengacara (gadungan?) yang di saat-saat terakhir, mampu menyelamatkan kliennya yang gagal ia bela dari hukuman gantung. Bagaimana caranya? Setelah berpikir keras, ia akhirnya mendapatkan sebuah ide brilian. Tepat ketika kliennya dieksekusi, ia meminta agar tali gantungan diputuskan. Kliennya jatuh ke bawah. Semua orang bertanya-tanya. Ia kemudian berkilah, bahwa sang terpidana telah menjalankan hukumannya, dan oleh karena itu boleh menjalani aktivitasnya kembali. Dengan cerdik, pengacara kocak itu mengutip putusan hakim pengadilan, yang hanya menyatakan bahwa terpidana harus dihukum gantung saja, tanpa menyebutkan bahwa ia harus digantung sampai mati. Konon, pembelaannya itu mempengaruhi putusan-putusan pengadilan selanjutnya. Sungguh sebuah penyelesaian yang tak terpikirkan! Retorika Dalam dunia sastra, hukum dan politik, retorika merupakan salah satu hal yang dibutuhkan, bahkan mungkin yang paling penting. Menurut kamus kita, retorika bisa berarti (1) keterampilan berbahasa secara efektif, (2) studi tentang efektivitas penggunaan bahasa dalam tulisan, dan juga (3) seni berpidato yang muluk-muluk dan bombastis. Salah satu kelebihan tokoh-tokoh terkemuka di masyarakat memang biasanya dalam hal retorika ini. Keterampilan dalam berbahasa menjadi hal yang penting ketika seorang pemimpin harus menyampaikan sikap dan pendapatnya kepada kelimun. Retorika sifatnya netral. Artinya, ia bisa dipakai untuk tujuan baik ataupun jahat oleh penggunanya. Dalam film yang saya ceritakan di atas, retorika jelas dipakai untuk tujuan yang baik, karena ternyata sang klien hanya terkena fitnah. Sangat berbeda dengan retorika yang ditunjukkan oleh para pejabat dan tokoh-tokoh parpol di negeri kita. Retorika para politisi sepertinya mengacu pada arti ketiga, yakni pidato yang muluk-muluk dan bombastis. Karena itu, kita tak usah heran sekiranya Ketua Umum partai politik terbesar di negeri ini sesumbar bahwa ia rela digantung di Monas jika terbukti korupsi barang serupiah pun. Kita hanya perlu ingat satu hal, bahwa jika ia adalah seorang ketua partai yang sedang berkuasa, maka sudah barang tentu ia bukan orang yang tak pandai. Ia tentu tahu dan sudah memperhitungkan segala sesuatunya dengan baik. Jika ia tak suka atau tak pandai berhitung, pastilah ia sudah mengeluarkan sesumbarnya itu segera setelah mantan rekan kerjanya yang dulu menjadi Bendahara Umum partai menyebut-nyebut keterlibatannya dalam kasus korupsi besar-besaran jelang Sea Games kemarin. Setidaknya, ia pastilah sudah paham, bahwa Monas bukanlah tempat yang lazim untuk menggantung seseorang. Selain itu, kita juga tidak memiliki tradisi hukum gantung di negeri ini. Jadi, sesumbarnya itu terlalu berlebihan dan tidak mungkin direalisasikan. Nah, jika sesumbar "gantung di Monas" adalah hal yang mustahil, maka bukankah kita bisa simpulkan, bahwa sesumbar (bahwa dia) "tidak korupsi" juga tidak nyata, alias tidak pernah terjadi? Ia mustahil tidak korupsi, sebagaimana ia juga mustahil digantung di Monas. Selain itu, bukankah ia tidak menyebutkan kata "mati" dalam sesumbarnya itu? Berkaca dari film kocak produksi tahun 1997 di atas, setidaknya ada dua pertanyaan saya: (1) apanya yang digantung (leher, tangan, kaki, atau badan)? Dan (2) sampai kapan/berapa lama ia digantung (setahun, sebulan, atau sedetik)? Jika hati politisi bersih, retorika akan dipakai untuk membangun masyarakat. Sebaliknya, jika hati politisi kotor, retorika akan dipakai untuk mengelabui rakyat. Sang ketua partai (dan teman-temannya, plus politisi-pejabat lainnya!) mungkin harus belajar untuk membersihkan hatinya sebelum mulutnya membusa karena terlalu banyak beretorika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline