Lihat ke Halaman Asli

Tanpa Komunikasi, Keluarga Berantakan

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="370" caption="komunikasi itu penting/thedish.blogs.com"][/caption] Gara-gara tak ada komunikasi yang intim antara suami dengan istri, kakak dengan adik, dan orang tua dengan anak, keluarga ini berantakan. Meski tak ada perceraian, namun ada semacam perang dingin di antara mereka. Si bungsu pun terpaksa melarikan diri dari rumah karena berkonflik dengan kakaknya. Siapa yang salah? Apakah karena suami dan istri merupakan hasil perjodohan yang tidak mengenal masa pacaran? Kita tak bisa simpulkan demikian, karena toh banyak pula pasangan suami-istri yang langgeng hingga hari tua, demikian pula dengan keluarga ini. Mereka sepertinya melupakan satu hal yang sangat penting dalam menjalin sebuah hubungan, yakni komunikasi. Bayangkan saja, selama hampir dua puluh tahun menikah dan tidak dikaruniai anak, hanya si suami saja yang mengajukan permohonan kepada Tuhan agar dikaruniai anak. Mengapa mereka tak berdoa bersama saja? Setelah Tuhan mengabulkan doa si suami, si istri yang ternyata langsung mendapat "bonus" anak kembar di dalam kandungannya tak menceritakan kondisi kehamilannya dan bagaimana ia menderita karena kehamilan itu kepada suaminya. Si istri justru berdoa sendiri kepada Tuhan untuk menanyakan apa maksud-Nya dengan memberikan kehamilan anak kembar di usianya yang sudah tak muda itu. Hasilnya, suaminya tak ikut mendengar ketika Tuhan berkata bahwa ia sedang mengandung calon dua bangsa yang besar, dan bahwa yang bungsu akan menundukkan yang sulung. Si istri pun, sayangnya, tak memberitahukan hal itu kepada suaminya. Nah, karena mereka langsung dikaruniai dua anak, kesalahan berikutnya adalah tidak bisa membagi kasih sayang yang adil di antara anak-anak mereka. Si ibu lebih sayang pada anaknya yang bungsu, sedangkan si ayah tentu saja menyayangi sang "putra mahkota," si anak sulung. Mengapa bisa seperti itu? Salah satu kemungkinannya adalah karena si ibu tak memberitahukan pesan Tuhan pada si ayah. Kemungkinan berikutnya adalah karena tak ada lagi "cinta membara" di antara mereka, sehingga mereka melampiaskan rasa kasih sayangnya kepada anak favorit masing-masing. Anak-anak tentu saja bisa merasakan gelagat kasih dari orang tuanya. Si sulung mungkin bisa melihat bahwa ibunya selalu tersenyum bahagia ketika bersama si bungsu, demikian pula halnya dengan si bungsu. Ia bisa merasakan bagaimana raut muka ayahnya berubah ketika si kakak ada di dekatnya. Apa yang terjadi ketika tak ada komunikasi? Kecurigaan pun muncul, dan sebagai dampak ikutan dari hal itu, berkembanglah semacam persaingan terselubung. Keluarga ini telah memelihara iklim kompetisi yang tidak sehat. Seandainya si suami dan si istri sejak awal memelihara komunikasi yang baik, tentu hal-hal seperti itu dapat dihindari. Mereka semestinya berdoa bersama kepada Tuhan. Pergumulan yang ada seharusnya ditanggung bersama. Ketika si istri sakit karena mengandung, mereka juga semestinya sama-sama bertanya pada Tuhan akan kehendak-Nya. Jika itu dilakukan, niscaya sejak anak-anak masih kecil, mereka bisa membesarkan kedua anak mereka dalam iklim yang saling mendukung. Mereka juga pastinya akan memberitahukan kepada anak-anak, bahwa kelak anak bungsulah yang dikehendaki Tuhan untuk menerima berkat kesulungan. Tak perlu ada tragedi sup kacang merah. Tak perlu ada tragedi baju bulu domba. Si bungsu tak perlu melarikan diri, dan si sulung tak perlu merasa "kecolongan." Salah satu syarat yang saya tetapkan ketika mencari pendamping hidup adalah komunikasi. Komunikasi kami haruslah berjalan dengan terbuka, tak ada yang ditutup-tutupi. Pendeknya, saya harus mencari pasangan hidup yang "nyambung" kalau berkomunikasi. Saya sungguh diberkati Tuhan dengan istri saya sekarang ini. Kepada dialah saya mempercayakan apa yang ada di hati saya, bahkan hal-hal yang terburuk sekalipun. Dia juga orang yang sangat terbuka dengan kehidupannya. Kami memahami kebaikan dan kejelekan masing-masing, dan saling mengingatkan adalah salah satu cara yang kami tempuh agar kami saling bertumbuh. Selain cinta kasih, kami senantiasa menjaga komunikasi yang intim satu sama lain, karena kami tahu, bahwa tanpa komunikasi, keluarga bisa jadi berantakan. Salam komunikasi. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline