[caption id="attachment_76907" align="alignleft" width="144" caption="keponakan baru"][/caption] Demi menemui keponakan pertama saya yang baru lahir di Bantul, saya dan pacar berkendara dengan sepeda motor ke sana. Sabtu (19/11) siang kami berangkat dari Semarang, lengkap dengan oleh-oleh dan perlengkapan yang diperlukan selama perjalanan, salah satunya, masker. Meski ayah saya sudah menginformasikan bahwa kota Muntilan yang akan kami lewati dan tadinya termasuk rusak parah karena terjangan hujan abu Merapi sekarang sudah "clear," tetap saja kami harus bersiap dengan segala kemungkinan yang ada. Sekitar pukul dua belas siang, kami berangkat. Karena tidak ada "deadline" yang harus dipenuhi, maka saya juga tidak terlalu cepat memacu kendaraan. Sekitar dua atau tiga kali kami berhenti sejenak di perjalanan. Selain untuk membeli barang pesanan adik, kami juga memanfaatkan kesempatan-kesempatan tersebut untuk beristirahat. Sekitar pukul tiga sore kami memasuki Muntilan. Hujan abu memang sudah tidak lagi menghantui kota ini, namun tetap saja sisa-sisa abu vulkanik yang tebal masih tampak menghampar di pinggiran jalan. Sebuah mobil menyalip dari arah kiri, otomatis tumpukan abu merapi yang dilewatinya langsung beterbangan. Sang supir mungkin sedang kebelet kencing, tak apalah. Jarak pandang langsung berkurang menjadi setengah meter! Alhasil, saya terpaksa memperlambat laju kendaraan. Syukurlah kami sudah memakai masker. Pacar sayalah yang menyadari adanya keanehan pada pohon-pohon kelapa di sepanjang jalan Muntilan-Jogja. Daun-daun pohon kelapa yang biasanya menyemburat seperti rambut anak-anak "punk," sekarang berubah seperti payung yang terlipat. Pasti karena abu Merapi, demikian kesimpulan kami. Fenomena itu terjadi pada semua pohon kelapa yang kami lihat di sepanjang jalan. Kami baru melihat pohon kelapa yang berdaun "normal" ketika memasuki jalan raya Parangtritis. Keesokan harinya kami harus pulang kembali ke Semarang. Terasa berat juga meninggalkan suasana tenang dan damai di desa untuk kembali berjibaku dengan kesemarakan kota. Setelah jalan-jalan sejenak di jalan Malioboro, kami memutuskan untuk segera menuju kota lumpia. Karena ketika berangkat kami tidak mengabadikan pemandangan unik yang saya ceritakan di atas, maka kesempatan pulang itu kami manfaatkan sebaik-baiknya. Pelan-pelan saya mengendarai motor saya, karena yang di belakang sibuk memotret pemandangan tak lazim itu. Ternyata jika dilihat lebih seksama, pohon-pohon salak pun bertumbangan. Ladang pohon salak berubah seperti hamparan dedaunan yang sangat luas. Sayangnya, kualitas kamera ponsel saya tak begitu bagus; tapi cukuplah, untuk mengabadikan tertunduknya pohon-pohon kelapa di Muntilan. [caption id="attachment_76908" align="alignleft" width="180" caption="Pohon kelapa tertunduk"]
[/caption] [caption id="attachment_76910" align="alignnone" width="180" caption=""Bangkai" pohon-pohon salak"]
[/caption] Pohon-pohon kelapa di Muntilan itu, seperti kata pacar saya, mungkin sedang tertunduk berduka. Berduka, karena keganasan gunung Merapi. Berduka, karena makin banyak manusia tak punya hati. Berduka, karena negeri ini makin sulit menemukan simpati. Berduka, karena pemimpinnya hanya sibuk memoles citra diri. Pohon-pohon kelapa yang tertunduk di Muntilan itu, kapankah daun-daunnya menyemburat lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H