Lihat ke Halaman Asli

Salam Tempel, Salam Ajaib

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu ini Pemerintah DKI Jakarta sedang bergiat menertibkan lalu-lintas jalannya yang semrawut itu, salah satunya dengan "pembersihan" jalur Busway dari kendaraan-kendaraan non-Transjakarta. Pembersihan tersebut dilakukan terutama di jalan-jalan protokol Jakarta, seperti Tomang, Harmoni, Salemba, Gajahmada, dsb. Berkat operasi yang digelar hampir setiap hari oleh kepolisian, kini jalur-jalur Busway memang terlihat relatif sepi dari kendaraan non-Trans. Hari Jumat (27/08) yang lalu, saya melewati ruas jalan Jatinegara Barat. Jalan itu relatif sempit karena "terpangkas" dua lajur untuk Busway. Dari kejauhan saya sudah bisa mengenali seragam petugas kepolisian yang berwarna hijau cerah itu. Siang itu, saya melihat salah seorang petugas menunjuk ke arah bus umum yang menggunakan jalur Busway, seperti layaknya petugas jika hendak menilang pelanggar rambu. Namun, kondektur bus tersebut ternyata cepat tanggap pula menghadapi situasi "genting" seperti itu. Dia buru-buru turun dari bus, berlari kecil menghampiri si petugas, lalu mengajak beliau "bersalaman." Si petugas buru-buru memasukkan sesuatu yang "menempel" di tangannya itu ke dalam sakunya. Bus umum yang sebenarnya melanggar peraturan lalu-lintas itupun melenggang tenang. Saya yang tak sengaja melihat kejadian itu pun hanya bisa terpana meli hat "salam ajaib" itu. Budaya salam tempel memang susah dihilangkan dalam masyarakat Timur. Dalam perspektif masyarakat Timur, harmoni merupakan kata kunci, dan perasaan memegang peran utama dalam pembuatan keputusan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola pemikiran Barat yang mengedepankan hukum dan rasio. Masyarakat kita lebih menyukai perdamaian daripada kebenaran. Itulah sebabnya salam tempel lebih dipilih ketimbang bermusuhan dengan pihak lain (dalam kasus kondektur tadi: tilang). Untuk membangun Indonesia yang lebih baik, KPK sudah memulai upaya yang patut kita hargai (walaupun menurut saya berlebihan) dengan melarang pejabat publik menerima parsel atau bingkisan. Akan tetapi, langkah KPK ini takkan berhasil jika para pimpinan lembaga negara, terutama yang bersentuhan dengan hukum, tidak mendukungnya melalui tindakan atau kebijakan yang nyata. Masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif menghilangkan budaya salam tempel ini. Usahakanlah tidak melanggar peraturan, dan jika suatu saat tidak sengaja melanggarnya, bersikaplah ksatria untuk menerima sanksi. Hongkong dulunya adalah daerah yang sangat-sangat korup. Bahkan, petugas ambulans pun tidak mau berangkat menjemput pasien gawat darurat jika belum mendapat "uang teh." Akan tetapi, semenjak bergulirnya demo besar-besaran yang dirintis oleh 12 orang mahasiswa, Pemerintah Hongkong akhirnya membuat ICAC, semacam KPK di Indonesia, pada tahun 1973. Sejak saat itu, lambat laun Hongkong menjadi daerah yang terdepan dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana dengan kita? Sesungguhnya kemerosotan moral suatu masyarakat bukan hanya karena kesalahan orang-orang yang korup dan jahat, namun juga karena ketidakpedulian orang-orang baik dan jujur! Salam tempel, eh, salam kompasiana! :D *Tentang sejarah terbentuknya ICAC, silakan klik http://www.icac.org.hk/new_icac/eng/abou/history/main_1.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline